Naypyidaw, CNN Indonesia -- Presiden Myanmar, Thein Sein, membantah bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari negara itu karena mendapat diskriminasi dan siksaan di negara bagian Rakhine barat.
"Itu hanya bualan media bahwa etnis Rohingya melarikan diri dari penyiksaan," kata Sien kepada
Voice of America untuk Myanmar, seperti diberitakan
Reuters, Jumat (21/11).
Menurut laporan Arakan Project, sekitar 100 ribu warga Rohingya telah meninggalkan Rakhine melalui Teluk Bengal sejak 2012, karena bentrok dengan etnis Buddha di negara bagian Rakhine.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bentrokan tersebut telah menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal, termasuk etnis Rohingya.
"Siksaan kepada Rohingya adalah hasil laporan pihak yang punya niat jahat, yang dibantu oleh sejumlah organisasi internasional," kata Thein.
Selain menganggap siksaan tersebut hanyalah bualan media, Sein menyatakan bahwa tak ada alasan untuk meninggalkan negara itu dan ada banyak orang yang ingin tinggal di Myanmar.
"Myanmar luas. Kesempatan untuk tinggal dan bekerja di sini terbuka lebar," kata Sein.
Komentar Sein tersebut berbanding terbalik dengan laporan sejumlah organisasi internasional yang menyatakan sekitar 1,1 juta etnis Rohingya meninggalkan Myanmar karena mengalami diskriminasi ras.
Menurut laporan
Reuters tahun lalu, beberapa warga Rohingya yang ingin meninggalkan Myanmar disandera oleh kelompok penyeludup di hutan sekitar Thailand, dan baru dibebaskan ketika ada sanak keluarga yang membayar uang tebusan.
Pejabat Thailand menyalahkan Myanmar atas tindakan ini.
"Masalahnya ada di Myanmar. (Etnis) Rohingya tak akan melarikan diri ke Thailand jika mereka tidak dianiaya," kata Sanya Prakobphol, Kepala Polisi Kabupaten Kapoe, Thailand selatan.
Diskriminasi terhadap minoritas Muslim menyebar luas di Myanmar. Etnis Rohingya bahkan diperlakukan seperti penduduk hantu karena tidak memiliki kewarganegaraan, meski telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Dalam kunjungannya ke Myanmar pada Jumat (14/11) lalu, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, meminta pemerintah Myanmar untuk memberikan hak yang sama kepada etnis Rohingya.
Pemerintah Myanmar sendiri telah berjanji untuk melakukan reformasi setelah hampir setengah abad dikuasai oleh pemerintahan militer.