Sebagai aksi solidaritas terhadap korban serangan tiga hari di Paris, Perancis, ribuan orang turun ke jalan dipimpin oleh sejumlah pemimpin negara. Namun, kehadiran sejumlah pemimpin negara yang kerap dikenal mengekang media dan kebebasan berbicara di negaranya masing-masing menuai kritik dari beberapa pihak.
Reporters Without Borders, RWB, organisasi pemerhati kebebasan informasi,
dalam situs resminya, mempertanyakan sejumlah perwakilan negara yang hadir dalam pawai di Perancis, namun terkenal kerap menekan kebebasan berbicara, hingga diberi julukan "predator jurnalisme".
"Kami harus menunjukkan solidaritas kami dengan Charlie Hebdo tanpa melupakan media lain yang mengalami kejadian yang sama seperti Charlie Hebdo," kata Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders, Christophe Deloire dalam pernyataan di situs RWB.
"Tidak bisa diterima jika perwakilan negara-negara yang membungkam wartawan mencoba mengambil keuntungan dari sorotan dunia terhadap serangan di Paris untuk meningkatkan citra internasional. Ketika mereka kembali ke negara masing-masing, mereka kemudian melanjutkan kebijakan represif untuk menekan kebebasan berbicara," kata Deloire.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut indeks negara dengan kebebasan berbicara yang dirilis RWB tahun 2014, sejumlah negara diberi julukan "predator jurnalisme" karena kerap menekan kebebasan berbicara, memenjarakan jurnalis karena karya mereka, maupun terlibat dalam pertempuran yang menewaskan jurnalis.
"Kita tidak dapat membiarkan predator kebebasan pers meludah di makam Charlie Hebdo," kata Deloire.
Berikut sejumlah pemimpin negara yang kerap terlibat dalam pengekangan pers, namun ikut serta dalam aksi pawai kebebasan berbicara di Paris, Perancis.
Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu turut hadir dalam pawai yang menyerukan kebebasan berbicara di Perancis. Padahal, Turki adalah negara dengan penahanan jurnalis paling banyak di dunia. Menurut data dari Elana Beiser, Komite Perlindungan Jurnalis, atau CPJ, tahun 2014 lalu, jurnalis yang ditahan di Turki mencapai 40 orang. Angka tersebut menurun dari penahanan tahun sebelumnya, yang mencapai 49 jurnalis.
Pihak berwenang di Turki memiliki kebabasan untuk menahan puluhan wartawan, sebagian besar keturunan Kurdi, atas tuduhan yang berkaitan dengan teror atau pemberontakan dari rezim Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Di bawah kepemimpinan Benyamin Netanyahu, tentara Israel menyerang Jalur Gaza yang mengakibatkan lebih dari 2.000 warga Palestina, kebanyakan warga sipil, tewas. Sementara di pihak Israel, sekitar 67 tentara dan enam warga sipil tewas karenak roket dan serangan yang dilancarkan Hamas.
Namun, tak hanya warga sipil dan personil militer yang tewas dalam Perang Gaza. Tercatat, tujuh jurnalis tewas pada periode Juli hingga Agustus 2014 ketika Perang Gaza berkecamuk. Seperti dilaporkan oleh Reporters Without Borders, wartawan yang tewas sebagian besar bekerja untuk media lokal Palestina, serta satu wartawan video dari Associated Press.
Pada tahun 2013, Mesir termasuk adalah salah satu dari sepuluh negara dengan penahanan jurnalis terbanyak di dunia. Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, atau CPJ, Mesir adalah negara paling mematikan ketiga untuk awak media pada tahun 2013.
Sementara, menurut indeks kebebasan berbicara yang dirilis Reporters Without Borders tahun 2014, Mesir menduduki peringkat ke-159 dari 180 negara tak ramah jurnalisme. Pada periode Desember 2013 hingga Desember 2014, sebanyak 46 wartawan ditangkap di Mesir.
Saat ini, menurut media lokal Mesir, Daily News Egypt, terdapat 16 wartawan yang masih mendekam di penjara di Mesir. Angka tersebut mewakili 9 persen dari total seluruh wartawan profesional dunia yang dipenjarakan. Rusia berada di peringkat ke-148 dari 180 negara yang terdapat dalam indeks kebebasan berbicara yang dirilis Reporters Without Borders tahun 2014.
Pada September 2014 lalu, Rusia menahan wartawan asal Siberia, Dmitry Shipilov. Shipilov menulis tentang Kemerovo, sebuah wilayah di Siberia, untuk koran Novy Kuzbass yang dikenal karena kerap mengkritik pemerintah setempat.
Secara resmi, Shipilov ditangkap untuk menjalani hukuman penjara dalam kasus 2012 atas tuduhan menghina seorang pejabat pemerintah dalam tulisannya. Ketika itu, pengadilan memutuskan bahwa Shipilov harus menerima hukuman, yaitu tidak menerima gaji selama 11 bulan.
Namun, ketika mengetahui Shipilov telah meningglkan Kemerovo sebelum menerima hukuman, pengadilan memerintahkan penangkapan untuk jurnalis ini.
Seperti dilaporkan RWB pada 19 September lalu, pengamat menilai penahanan Shipilov bermotif politik, karena penangkapan tersebut terjadi hanya beberapa jam setelah sebuah koran mempublikasikan wawancara Shipilov dengan seorang pejabat Siberia. Petugas pengadilan dan intel Polandia pernah menggerebek kantor pusat majalah mingguan Wporst di Warsawa pada 18 Juni 2014 lalu untuk mengamankan sebuah rekaman wawancara yang diyakini menghina seorang pejabat dari partai yang tengah berkuasa.
Seperti ditulis dalam situs resmi Reporters Without Borders, Wprost menyebabkan politik Polandia bergejolak setelah pada tanggal 15 Juni lalu menerbitkan rincian dari serangkaian percakapan antara politisi yang telah diam-diam direkam di sebuah restoran elit di Warsawa.
Rekaman pertama yang diterbitkan adalah percakapan antara Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Bank Sentral Polandia, yang berjanji untuk mendukung pemerintah terkait kebijakan anggaran dan strategi pemilihan umum.
Hingga saat ini, belum jelas siapa yang merekam percakapan tersebut, namun pengadilan Warsawa yang menyelidiki pemilik restoran karena dicurigai melakukan rekaman secara ilegal.
Namun, penyelidikan tersebut kemudian mengarah kepada Wporst yang menerbitkan rekaman tersebut. Awak media tak mau memberikan rekaman, dengan mengutip bahwa media memiliki kebebasan untuk melindungi nara sumbernya. Hingga saat ini, rekaman video tersebut tidak ditemukan, dan akhirnya polisi menyerah dan keluar dari gedung. Pemerintah Arab Saudi memenjarakan Raif Badawi, seorang penulis yang dianggap menghina Islam. Badawi dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan 1.000 kali cambukan, serta membayar denda sebesar 1m riyal atau sekitar US$ 266.600 pada Mei 2014 atas tuduhan mengkritik seorang ulama Arab Saudi. Hukuman cambuk diterima Badawi di depan ratusan orang yang tengah melakukan shalat Jumat di sebuah lapangan umum di kota pelabuhan Jeddah.
Seperti diberitakan The Guardian pada Sabtu (10/1) Badawi dicambuk 50 kali di depan ratusan penonton. Saksi mata mengatakan kaki dan tangan Raif Badawi dibelenggu selama dia dicambuk tapi wajahnya terlihat. Namun, Badawi tetap diam dan tidak menangis selama dicambuk.
Organisasi HAM yang berbasis di London, Amnesty International mengatakan ia akan menerima 50 cambukan sekali seminggu selama 20 minggu.
Meskipun telah lama berselang, hingga kini tidak seorang pun dimintai pertanggungjawaban atas serangan udara NATO di kantor media studio Radio Televizija Srbije, RTS, di pusat kota Belgrade, Serbia pada 23 April 1999.
Saat serangan terjadi, diperkirakan sekitar 200 orang tengah berada dalam gedung kantor RTS. Sebanyak 16 awak media tewas, termasuk seniman make-up, juru kamera, editor, direktur program, tiga penjaga keamanan dan staf media lainnya. Puluhan warga sipil juga tewas akibat serangan itu.
"Pemboman markas radio negara Serbia dan televisi adalah serangan yang disengaja atas warga sipil, dan dengan demikian merupakan kejahatan perang," kata Sian Jones, pengamat dari organisasi pemerhati HAM, Amnesty International wilayah Balkan, seperti ditulis dalam situs resmi organisasi tersebut, pada 23 April 2009.
Para pejabat NATO menegaskan kepada Amnesty International pada awal tahun 2000 serangan udara ke kantor RTS karena media itu dianggap melancarkan propaganda untuk merusak moral penduduk dan angkatan bersenjata.