Jakarta, CNN Indonesia -- Lagi-lagi anak buah kapal asal Indonesia diculik oleh kelompok bersenjata asal Filipina. Menurut pengamat terorisme Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, pemerintah RI terlalu lunak menanggapi penculikan ini.
Respons pemerintah yang menggunakan
soft diplomacy, kata Ridlwan kepada CNN Indonesia, Senin (11/7), sudah tidak bisa lagi diterapkan. Ridlwan mengimbau pemerintah Filipina agar mengizinkan TNI melakukan operasi pembebasan.
"Sudah cukup
soft diplomacy. Kelompok Abu Sayyaf mengingkari perjanjian, saatnya diplomasi senjata, " ujar alumni S2 Intelijen UI tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya pada Sabtu lalu kapal pukat penangkap ikan LLD113/5/F berbendera Malaysia dihentikan oleh lima orang bersenjata di perairan Lahad Datu, Malaysia. Tiga WNI di dalamnya diculik setelah memperlihatkan paspor mereka.
Insiden ini terjadi di tengah upaya pembebasan tujuh ABK WNI yang diculik kelompok bersenjata Abu Sayyaf asal Filipina 20 Juni lalu.
Ini bukan kali pertama WNI disandera oleh kelompok militan di Filipina selatan. Sebelumnya, 14 orang disandera oleh Abu Sayyaf dalam dua kesempatan berbeda. Namun, mereka sudah dibebaskan pada Mei lalu.
Menurut Ridlwan, upaya pembebasan Indonesia dengan pendekatan dialog, agama, dan mediasi ketua suku terlalu lunak. Buktinya, warga Indonesia masih menjadi sasaran empuk penculikan.
Kepolisian Malaysia menduga pelakunya adalah Apo Mike, bagian dari kelompok militan Abu Sayyaf.
"Itu (Apo Mike) pecahan faksi abu sayaf yang murni beroperasi sebagai penculik dan perompak di sepanjang pantai perbatasan Sabah dan Tawi Tawi Sulu Malaysia," kata Ridlwan.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mengirim surat kepada pemimpin baru Filipina Rodrigo Duterte, meminta perhatian lebih atas kasus penculikan WNI. Menurut Ridlwan, Duterte terkenal tegas terhadap kelompok bersenjata.
"Ini sudah dalam batas tak bisa ditoleransi. Sudah saatnya operasi militer, "kata Ridlwan.
(den)