Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam setahun terakhir, kelompok militan Abu Sayyaf yang beroperasi di Filipina selatan kerap meluncurkan serangkaian serangan dan penculikan terhadap warga negara asing, termasuk dari Indonesia. Untuk mencegah hal ini kembali terjadi, pengamat menilai Filipina harus meningkatkan kualitas kemampuan polisi serta bekerja sama dengan negara tetangga.
Wilayah selatan Filipina, seperti Mindanao dan Sulu, merupakan markas berbagai kelompok militan Islam, termasuk Abu Sayyaf. Sebanyak delapan anak buah kapal warga negara Indonesia hingga kini masih dalam penyanderaan Abu Sayyaf. Dua di antaranya, Muhammad Sofyan dan Ismail, berhasil melarikan diri dari penyanderaan.
Insiden ini merupakan kali ketiga Abu Sayyaf menyandera ABK WNI dalam setahun terakhir, meski 10 sandera sebelumnya berhasil dibebaskan dengan selamat pada April lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Filipina sendiri meluncurkan operasi militer dengan menargetkan sejumlah markas Abu Sayyaf. Meski demikian, menurut pengamat senior dari International Center for Transitional Justice (ICTJ), Ruben Carranza, tak hanya peran militer yang harus dimaksimalkan, melainkan juga peran polisi.
Pengamat yang pernah bekerja di Departemen Pertahanan Nasional ini memaparkan dia turut membantu merancang kebijakan yang kemudian diadopsi sebagai undang-undang modernisasi militer Filipina. Salah satu interpretasi penting dari UU itu adalah bahwa peran militer seharusnya hanya di ranah keamanaan eksternal dan pertahanan.
Sementara, kemampuan dan kewenangan polisi setempat harus diperluas agar dapat mengawasi perekrutan Abu Sayyaf.
"Jika polisi diberikan peran yang lebih signifikan dalam memonitor perkembangan perekrutan Abu Sayyaf, dan bekerja sama dengan pemimpin komunitas setempat untuk mengatasi kekerasan dan perang antar klan di wilayah itu, maka mungkin ada harapan untuk melemahkan Abu Sayyaf," kata Carranza melalui pesan email kepada
CNN Indonesia.com, Kamis (25/8).
Carranza memuji peran pemerintahan mantan presiden Benigno Aquino yang berhasil menciptakan kemajuan dalam proses perdamaian dengan sejumlah kelompok militan di Filipina Selatan, termasuk dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Proses perdamaian itu, menurut Carranza, seharusnya tak hanya diterapkan dengan melucuti senjata atau pembagian kekuasaan daerah dengan para pemimpin militan, namun juga harus mampu menciptakan pembangunan dan keadilan bagi warga setempat.
"Ini yang tidak dilakukan militer Filipina. Polisi setempat, idealnya, dapat menjadi bagian dari sistem keadilan dan mempromosikan ide bahwa warga Muslim [di wilayah selatan] juga memiliki HAM, seperti warga Filipina lainnya," ujarnya.
Lanjutkan program AquinoKemajuan proses perdamaian yang sudah dicapai pada masa pemerintahan Aquino, menurut Carranza, seharusnya dapat dengan mudah dilanjutkan dalam pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Namun, pemimpin berusia 71 tahun ini nampaknya lebih berfokus kepada kampanye pemberantasan narkoba yang kontroversial ketimbang melanjutkan upaya perdamaian dengan kelompok militan di selatan Filipina.
"Ini merupakan langkah yang seharusnya tak terlalu sulit untuk dilanjutkan oleh presiden saat ini. Namun, ia jelas terlalu terfokus pada gagasannya sendiri, bahwa perang terhadap narkoba merupakan masalah negara yang lebih penting saat ini," tutur Carranza.
 Presiden Rodrigo Duterte nampaknya lebih berfokus kepada kampanye pemberantasan narkoba yang kontroversial ketimbang melanjutkan upaya perdamaian dengan kelompok militan. (Reuters/Erik De Castro) |
"Ia [Duterte] menilai masalah ini [perang melawan narkoba] tak tersentuh oleh para pendahulunya, dan hanya dia yang dapat melihat bahwa ribuan warga sipil meninggal [karena narkoba]. Sekarang ia dapat lihat sendiri, ribuan warganya tewas dalam perangnya melawan narkoba," ujar pengamat yang berbasis di AS ini.
Carranza menilai bahwa jika saja Duterte bersedia mengalihkan pandangan politiknya dan energinya untuk mengimplementasikan perjanjian dengan kelompok militan, maka ia dapat mengikis alasan ekonomis dan ideologis para pemuda di selatan Filipina yang bergabung dengan militan.
Selain itu, ia juga mengingatkan akan pentingnya meningkatkan penjagaan di perbatasan dan berpatroli bersama dengan sejumlah negara tetangga.
"Modernisasi kapasitas angkatan udara dan angkatan laut, bukan hanya berguna dalam sengketa Laut China Selatan dengan China, namun juga untuk membantu patroli maritim di perbatasan dengan Malaysia dan Indonesia," katanya.
Senada dengan Carranza, sejarawan militer Filipina, Jose Antonio Custodio, juga menilai patroli miritim antara Indonesia dan Filipina sebagai solusi terbaik untuk mencegah aksi penculikan terhadap WNI di masa depan.
"Baik pemerintah Indonesia dan Filipina dapat mempererat partroli maritim, antara angkatan laut dan polisi air di wilayah maritim itu," ujarnya kepada
CNN Indonesia.com melalui pesan email.
Ia juga mengingatkan bahwa membayar uang tebusan hanya akan memperkuan kelompok militan Abu Sayyaf dan jaringan lokal yang mendukung organisasi teroris.
(ama/stu)