Partai Demokrat Ingin Jegal Trump di Electoral College

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Rabu, 23 Nov 2016 16:45 WIB
Setidaknya enam pemilih Electoral College dari Partai Demokrat berupaya menjegal langkah Donald Trump untuk dilantik sebagai presiden AS ke-45.
Setidaknya enam pemilih Electoral College dari Partai Demokrat berupaya menjegal langkah Donald Trump untuk dilantik sebagai presiden AS ke-45. (Reuters/Andrew Kelly)
Jakarta, CNN Indonesia -- Setidaknya enam pemilih dalam Electoral College dari Partai Demokrat yang akan secara resmi memilih presiden Amerika Serikat yang baru pada Desember mendatang dilaporkan tengah berupaya menjegal langkah presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump. Mereka juga dikabarkan berencana merendahkan proses Electoral College dengen memilih kandidat selain Trump maupun rivalnya, Hillary Clinton.

Electoral College adalah lembaga konstitusional yang memilih presiden dan wakil presiden AS, ini adalah tahapan berikutnya yang dilalui dalam pemilihan presiden setelah pemilu 8 November lalu. Lembaga ini dibentuk dengan dasar hukum yang tercantum dalam Pasal Dua Ayat Satu dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang mengatur soal pemilihan lembaga presiden di semua negara bagian setiap 4 tahun sekali.

Pada pemilu presiden pada 8 November lalu, warga AS memang memilih capres unggulan mereka dalam pemilu. Namun sejatinya, hasil pemilu akan menentukan jumlah pemilih, atau disebut juga electors, yang akan maju lagi ke tahap terakhir, yaitu Electoral College.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terdapat 538 pemilih (electors) yang akan maju ke Electoral College, sesuai dengan jumlah suara pemilih (electoral votes) yang diperebutkan masing-masing capres pada pilpres. Dengan mekanisme yang sudah diterapkan selama 200 tahun ini, pilpres di AS berbeda dengan di Indonesia, yang menerapkan sistem pemilihan umum secara one man one vote.

Diberitakan The Telegraph pada Rabu (23/11), sekelompok pemilih dari Demokrat itu berharap dapat mempengaruhi para pemilih dari Republik untuk tidak memilih Trump. Jika konglomerat asal New York itu tidak mendapatkan dukungan 270 orang dalam Electoral College, maka dia tidak akan menjadi presiden AS.

Para pemilih yang "memberontak" itu diduga akan mendukung tokoh moderat Republik, seperti John Kasich atau Mitt Romney. Langkah ini dinilai bukan hanya sebagai upaya untuk menjegal Trump, namun juga untuk mengurangi dukungan untuk kedua capres, baik Trump maupun Clinton.

Jika rencana itu diterapkan, maka Konstitusi AS mewajibkan para pejabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelesaikan kisruh ini dan memilih presiden AS selanjutnya.

Namun, rencana itu akan sulit diterapkan. Pasalnya, dibutuhkan setidaknya 37 pemilih dari Republik untuk tidak mendukung Trump.

Meski demikian, para pemilih AS disebutkan punya rencana lain yang dinilai akan efektif. Mereka mencoba membujuk sebanyak-banyaknya pemilih untuk tidak memberikan suara mereka. Jika itu terjadi, maka para pemilih kemudian bisa mempertanyakan legitimasi lembaga Electoral College itu sendiri.

"Saya benar-benar yakin rencana ini akan menjadi langkah serius untuk mengingatkan soal upaya mereformasi Electoral College," ujar Michael Baca dari Colorado, pemilih dari Partai Demokrat, dikutip dari Politico.

"Jika DPR sampai turun tangan, maka akan terjadi kontroversi dan ketidakpastian yang pada akhirnya memicu kisruh politik di AS. Harapan saya, ini akan membuat publik mempertanyakan kembali konsep Electoral College," tuturnya.

Dalam sejarahnya, Electoral College dibentuk sebagai lembaga yang akan mempertahankan hak presiden terpilih pada pilpres untuk secara resmi dilantik, meski ia dinilai tidak memiliki kemampuan untuk memimpin pemerintahan.

Namun di masa modern, fungsi Electoral College berubah hanya menjadi formalitas belaka, dan sering kali hasilnya tak jauh berbeda dengan hasil perhitungan electoral votes tiap negara bagian pada pilpres pada November lalu. 

Serupa dengan pilpres, dalam Electoral College para pemilih akan memilih capres yang mereka dukung. Capres yang mengantongi mayoritas suara dari satu negara bagian akan mendapatkan dukungan dari seluruh pemilih Electoral College di negara bagian itu. Begitu seterusnya hingga terdapat satu capres yang mengantongi mayoritas suara dari seluruh negara bagian.

Legitimasi Electoral College memang dipertanyakan belakangan ini, lantaran kekalahan Clinton dari Trump pada pilpres lalu. Pasalnya, penghitungan suara terakhir menunjukkan bahwa secara keseluruhan, Clinton berhasil meraup dukungan dari 63.757.077 pemilih, sementara Trump jauh tertinggal dengan angka 62.004.178.

Namun, Trump tetap dinyatakan memenangi pilpres dan terpilih sebagai presiden karena meraih electoral votes yang lebih banyak ketimbang Clinton. (ama/den)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER