Jakarta, CNN Indonesia -- Pemilu Perancis kali ini dianggap menjadi yang paling menarik dan krusial bagi warga negara di Eropa Barat itu. Skema persaingan antara politikus berhaluan sentris-kanan dan kaum sosialis yang mewarnai pemilu sejak 1950an tak lagi berlaku tahun ini.
Perlombaan menuju Istana Elysee tahun ini, menyodorkan dua pilihan bertolak belakang, antara calon pemimpin berhaluan tengah/sentris yang pro-Eropa, Emmanuel Macron, atau politikus ekstrem kanan yang anti-globalisasi dan anti-Eropa, Marine Le Pen.
Kedua kandidat itu membuat masa depan Perancis terbelah, antara menjadi negara proteksionis atau negara yang terus membuka diri dengan blok kawasan Uni Eropa, di tengah tingginya tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi negara yang lesu, dan sejumlah isu keamanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memenangi pemilu, Emmanuel Macron, eks penasihat ekonomi Presiden Francois Hollande 2014 lalu itu, dituntut membawa negaranya keluar dari krisis ekonomi dan sosial yang selama ini membuat publik Perancis frustasi bahkan dinilai terpecah.
Macron, yang selama ini tak pernah memegang jabatan secara terpilih, menjanjikan perubahan, khususnya revolusi ekonomi dan moral baru dalam perpolitikan Perancis.
 Emmanuel Macron dianggap bisa membawa perubahan besar dalam perpolitikan Perancis dan memperkuat posisi negaranya di Uni Eropa. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Semasa kampanye, Macron, menggaungkan cita-citanya untuk merevolusi ekonomi Perancis menjadi lebih bersahabat lagi. Dia juga berniat menegaskan keanggotaan Perancis di Uni Eropa, mempererat integrasi antar sesama negara blok tersebut, dan memperkuat nilai mata uang euro.
Karena itu, dengan kemenangan Macron, status Perancis sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Uni Eropa terbilang aman, bahkan bisa jadi semakin kuat.
Di awal gerakan En Marche!-nya terbentuk, Macron bertekad menyatukan kaum sayap kanan dan kiri di Perancis. Dia menganggap, setiap orang dan pihak, memiliki peran masing-masing dan kepentingan terkait kesuksesannya.
Kampanye partainya selama ini memiliki moto “kita” yang sangat menjunjung tinggi kebersamaan, serupa dengan slogan “Yes, We Can” yang menyukseskan Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat.
Namun, sejumlah analis menganggap, kemenangan Macron tak serta-merta membuat kehidupan politiknya di Istana Elysee, mudah, khususnya ketika berhadapan dengan parlemen.
Macron memang berhasil menunjukkan bahwa tanpa ‘bekingan’ partai-partai mapan, dia -sebagai politikus yang baru terjun 2014 lalu- sanggup memenangi pemilu. Namun, usai pemilu, hal itu tak ada artinya lagi.
Pemilu usai dan Macron terpilih menjadi presiden. Namun, kini, mantan menteri ekonomi, industri dan hubungan digital itu dihadapkan dengan tugas yang tak kalah penting, yakni meraih kursi mayoritas di majelis rendah parlemen, Majelis Nasional.
“Jika dia [Macron] menang, dia harus mengatur bagaimana meraup mayoritas parlemen sesegera mungkin,” tutur Kepala institut penelitian politik Science-Po, Pascal Perrineau.
“Sendirian [tanpa dukungan parlemen] presiden bukan siapa-siapa. Politik itu melibatkan karir keseluruhan. Orang tidak akan mendukung hanya karena Anda memiliki senyum indah, darah muda, dan mata biru. Harus ada beberapa negosiasi serius [dengan parlemen],” ujarnya menambahkan.
Dikutip
the Guardian, Perrineau mengatakan, pemilu legislatif di Perancis, Juni nanti, menjadi hal terpenting setelah pemilihan presiden usai.
Di bawah konstitusi Perancis, seorang presiden adalah pemimpin politik tertinggi yang memiliki kewenangan menunjuk seorang perdana menteri. Pada umumnya, seorang PM ditunjuk dari partai sang presiden sendiri.
Presiden juga dituntut meraup dukungan mayoritas di majelis rendah parlemen, Majelis Nasional. Jika tidak bisa mencapainya, ada kemungkinan Perancis akan lumpuh secara politik.
Tugas ini menjadi salah satu tantangan Macron. Sebab, gerakan En Marche!-nya belum dianggap sebagai partai politik. Terlebih, partai yang dibentuk April 2016 itu saat ini tak memiliki dewan partai daerah maupun kursi di parlemen.
Macron pun selama pencalonannya sama sekali tak didukung partai besar dan mapan. Dengan tanpa dukungan mayoritas parlemen, Macron disebut akan sulit memerintah.
“Macron tidak memiliki anggota parlemen. Anda memang terpilih [jadi presiden], tapi pertanyaannya adalah: dengan siapa Anda bekerja?” kata Perrineau.
“Jika mayoritas parlemen tidak mendukung Anda, Anda tidak bisa memerintah. [Pemilu] ini mati. Baik Macron maupun Le Pen adalah sama-sama amatir yang tidak mengerti kehidupan logika parlementer,” tuturnya.
Selain itu, tanpa dukungan mayoritas majelis, Macron dipaksa memilih perdana menteri yang berasal dari luar partainya. Jika ini terjadi, dia akan berada pada periode “kohabitasi”, yang berarti dia tidak bisa berbuat banyak lantaran menghadapi oposisi terus-menerus.
Namun, jika Macron bisa menangani masalah ini, dia akan dengan mudah menerjemahkan program-programnya selama ini, menjadi kebijakan dan undang-undang.
Pada Januari lalu, Macron mengumumkan, En Marche! akan mengajukan kandidat di semua 577 konstituensi parlemen. Dia ingin setengah anggota parlemen berasal dari warga sipil atau pemerintah daerah terpilih. Macron juga menginginkan, setengah anggota parlemen itu adalah wanita.
Meski begitu, menurut seorang profesor studi Eropa di Universitas Reading, Macron tetap akan menghadapi “perang manuver yang berlarut-larut” ketika menghadapi parlemen.
“Kinerja Macron seluruhnya bergantung pada jumlah pendukungnya di parlemen. Jumlah dukungan parlemen juga bergantung pada hasil perolehan suara Macron dalam pemilu. Jika dia berhasil meraup suara lebih dari 60 persen, ini bisa mempermudahnya memperoleh suara mayoritas di parlemen,” katanya.
“[Suara] di bawah 60 persen hanya akan dilihat sebagai kemenangan relatif. Jika ini terjadi, hasil pemilu putaran kedua hanya akan dilihat tak lebih sebagai hasil putaran sebelumnya,” ucapnya menambahkan.