Jakarta, CNN Indonesia -- Badan kerja sama polisi Uni Eropa, Europol, menyebut serangan siber ransomware WannaCry telah memakan lebih dari 200 ribu korban setidaknya di 150 negara. Perangkat lunak jahat ini telah melumpuhkan ratusan ribu jaringan komputer instansi perusahaan maupun pemerintah secara global sejak Sabtu pekan lalu.
"Jumlah terakhir ada lebih dari 200 ribu korban di setidaknya 150 negara. Banyak dari para korban merupakan pelaku bisnis, termasuk perusahaan besar," tutur Kepala Badan Kepolisian Uni Eropa (Europol), Rob Wainwright, Minggu (14/5).
Ransomware WannaCry merupakan salah satu program jahat yang bisa mengunci data pada komputer terinfeksi dan jaringan terhubung hanya dalam hitungan menit.
Malware ini disebut sebagai salah satu yang paling canggih dan mulai terdeteksi menyebar secara global sejak Kamis (11/5). Sejauh ini, belum ada penangkal untuk mendekripsi file yang terjangkit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaku meminta pengguna membayar sebesar US$300 dolar dalam bentuk Bitcoin virtual sebagai tebusan agar dokumen yang disandera atau dikunci bisa dibuka kembali.
Salah satu korban terparah adalah Inggris. Sedikitnya 45 fasilitas kesehatan nasional (NHS) terinfeksi, membuat sejumlah rumah sakit harus membatalkan operasi dan program perawatan pasien.
Sementara Di Indonesia, malware WannaCry ini mulai terdeteksi pada Jumat sore (12/5). Berdasarkan laporan yang diterima oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sejauh ini program tersebut baru terdeteksi menyerang sistem komputer Rumah Sakit Harapan Kita dan Rumah Sakit Dharmais.
Wainwright mengatakan sejumlah bank di Eropa pun telah terinfeksi. karena itu, lembaganya bersama Biro Investigasi Federal (FBI) bergegas melacak pihak yang bertanggung jawab atas serangan siber masif yang dianggap belum pernah terjadi sebelumnya ini.
Berdasarkan penyelidikan awal, pelaku serangan malware ini diperkirakan berjumlah lebih dari satu orang.
Walaupun begitu, dia menuturkan, motivasi pelaku di balik serangan ini masih belum diketahui, meski pada umumnya serangan siber berkedok tebusan biasanya "bersifat kriminal."
"Ancaman ini terus meningkat, jumlah korban terus naik. Saya khawatir jumlah korban akan meningkat khususnya saat orang-orang pergi bekerja dan menghidupkan komputer mereka pada Senin (15/5) pagi," ujarnya.
Wainwright bahkan mengatakan sejumlah korban telah membayar tebusan yang diminta si pelaku agar bisa mendapatkan kembali dokumen yang diblokir.
"Kami menjalankan sekitar 200 operasi global melawan kejahatan siber setiap tahunnya. Tapi kami belum pernah melihat [serangan malware] yang seperti ini," katanya.
"Kebanyakan korban tak membayar tebusan yang diminta. Hanya beberapa korban saja yang sudah melakukan pembayaran tebusan," ucap Wainwright menambahkan, seperti dikutip
AFP.