Seorang gay Afghanistan bercerita pengalaman menegangkan dari sembunyi hingga berhasil lolos dari buruan Taliban. Saking takut ketika itu, ia beserta keluarga bersembunyi di ruang bawah tanah usai kelompok itu menguasai negara tersebut pada pertengahan Agustus lalu.
Laki-laki 32 tahun itu pernah bersembunyi bersama adik laki-lakinya. Mereka melewati hari dengan membaca, berdoa, dan keluar hanya untuk mencari makan ketika itu. Mereka takut mati di tangan Taliban, seperti ayahnya bertahun-tahun silam.
"Mereka bisa saja memenggal kepala kami atau membunuh kami dengan cara yang paling brutal. Mereka ahli dalam hal itu" kata Ahmad kepada CNN, melalui pesan Whatsapp.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu-satunya yang membuat mereka terhubung dunia luar adalah telepon genggamnya.
CNN memverifikasi identitas laki-laki itu melalui aktivis hak asasi manusia dan mengirim pesan kepadanya melalui Whatsapp sejak Agustus lalu. Demi melindungi keselamatannya, CNN menggunakan nama samaran Ahmad.
Sementara saudara-saudaranya berusaha menghindari tempat-tempat umum. Mereka bersembunyi di sebuah ruangan kecil di gang belakang, wilayah padat penduduk di Kabul. Mereka tidur di lantai dengan jendela tertutup.
Setiap kali suara-suara dari luar terdengar, Ahmed berkata, "Kami akan duduk dalam kegelapan, sama sekali tidak bergerak, takut menggerakkan otot."
Ia sempat melarikan diri ke Kabul pada awal Agustus lalu. Saat Taliban belum memasuki ibu kota dan menguasai kota-kota di Afghanistan, Ahmad merasakan betul teror.
Dua hari sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, ia bergegas mengemas tas dan menumpang bus menuju ibu kota Afghanistan.
Dia khawatir seseorang di kota barat laut Mazar-i-Sharif, tempat keluarganya tinggal, menyeretnya ke Taliban.
Ahmed merasa akan lebih aman sebagai laki-laki gay di Kabul. Namun beberapa hari kemudian, kota itu jatuh ke tangan Taliban.
Ahmed juga menyadari perlakuan Taliban terhadap minoritas di Afghanistan.
Dalam pernyataan publik pada bulan Juli, seorang hakim Taliban mengatakan hanya ada dua hukuman untuk homoseksualitas yakni rajam atau dihancurkan di bawah tembok yang dirobohkan.
Penyelidikan baru-baru ini yang dilakukan Amnesty International menemukan Taliban pada akhir Agustus mengeksekusi 13 orang etnis Hazara, yang sebagian besar adalah anggota Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan.
Sebagai etnis Hazara, Ahmed mencoba menyembunyikan wajahnya di depan umum. Mereka biasanya memiliki ciri khas wajah Asia Timur dan Tengah dengan warna kulit lebih terang dan mata yang khas, yang berbeda dari kebanyakan orang Afghanistan. Kelompok itu sebagian besar beraliran Syiah, sementara mayoritas penduduk beraliran Sunni.
Menghindari persekusi, Ahmed mengenakan pakaian tradisional dan sorban. Masker medis menutupi jenggotnya yang jarang. Kacamata hitam menutupi matanya setiap kontak mata dengan tentara Taliban.
Awalnya, dia tidak sehati-hati itu. Suatu hari di bulan Agustus, Taliban sempat menyetop langkah Ahmed karena mengenakan topi bisbol. Mereka menarik topi itu dari kepalanya dan menuntut penjelasan: "Mengapa mengenakan topi hip hop?"katanya.
Di suatu waktu, Ahmad kerap merasa putus asa sehingga berpikir untuk mengakhiri hidup.
Seorang aktivis hak asasi manusia berbasis di Seattle yang telah membantu saudara-saudara Ahmed, Michael Failla, mengatakan dia mendapat telepon darinya saat tengah malam.
"Pada waktu dia menelepon saya, sambil menangis dan mengatakan dia mendengar Taliban mengunjungi dari pintu ke pintu di lingkungan itu," kata Failla.
Failla menceritakan bahwa Ahmed mengancam akan melompat dari gedung karena ia pikir itu akan menjadi cara yang tidak terlalu menyakitkan untuk mati.
"Daripada ditangkap dan dipenggal oleh Taliban sebagai seorang pria gay," lanjutnya.
Ia mengaku hidupnya dalam bayang-bayang ketakutan di Kabul terhadap Taliban dan perjuangannya melarikan diri dari Afghanistan, rumah sepanjang hidupnya.
Kecemasan dia dan saudaranya terhadap Taliban memang sangat personal. Ketakutan mereka terhadap Taliban berakar pada sejarah keluarga.