Ahmed menuturkan Taliban membunuh ayahnya selama pembantaian Agustus 1998 di Mazar-i-Sharif yang menewaskan ratusan laki-laki dan anak laki-laki.
Taliban melemparkan sang ayah ke belakang truk pickup dan pergi begitu saja, katanya. Itulah terakhir kali dia melihatnya. Ketika itu usia Ahmed baru 9 tahun.
Bahkan sebelum kematian ayah mereka, Ahmed mengalami masa kecil yang mengerikan. Dia mengingat momen indah saat mengendarai sepedanya di bawah pohon delima, juga ingatan serangan brutal terhadap Hazara dan komunitas LGBTQ di kotanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada 15 Agustus lalu membawa kembali kenangan yang menyakitkan itu.
Adik Ahmed berusia 26 tahun dan bukan gay. Tapi sebagai etnis Hazara dan seorang Kristen, dia juga termasuk orang yang rentan di Afghanistan.
Delapan tahun lalu mereka kehilangan ibu mereka karena tumor otak. Sejak saat itu, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki saudara lain selalu menghadapi dunia bersama.
Para aktivis kemudian berusaha mengeluarkan mereka dari negara itu. Tidak jelas berapa banyak orang Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, Queer (LGBTQ) di Afghanistan karena kebanyakan dari mereka hidup dalam bayang-bayang.
Tahun lalu, laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengenai Afghanistan menyebutkan orang-orang LGBTQ menghadapi diskriminasi, penyerangan dan pemerkosaan serta pelecehan dan penangkapan oleh pihak berwenang.
Sejak negara itu jatuh ke tangan Taliban, kelompok-kelompok hak asasi manusia berlomba-lomba mengeluarkan LGBTQ Afghanistan dari negara itu.
"Taliban sudah dikenal mengeksekusi banyak orang LGBTQ saat berkuasa dan ada laporan mengenai laki-laki gay yang dibunuh sejak mengambil alih pada Agustus tahun ini," kata direktur sebuah organisasi yang mengadvokasi komunitas LGBTQ di Timur Tengah, Aman Project, Aws Jubai.
Dengan bantuan para donor, Aman Project sudah mengirimkan bantuan tunai kepada orang-orang LGBTQ di Afghanistan dan menyarankan mereka tetap bersembunyi sampai menerima suaka di negara lain.
Lihat Juga : |
Failla juga ikut membantu LGBTQ Afghanistan seperti Ahmed untuk melarikan diri dari Taliban
"Taliban mengatakan mereka akan lebih lunak pada perempuan dan minoritas. Tapi tidak ada yang mengatakan mereka akan lebih lunak pada komunitas LGBTQ," kata Failla, menyebut mereka "minoritas paling rentan di negara ini."
Suatu hari di akhir September, dia mendapat telepon dari seorang aktivis. Sebuah penerbangan tersedia dalam beberapa hari mendatang untuk mengangkut ia dan saudaranya ke Pakistan.
Ahmed sangat gembira namun juga takut. Saat hari keberangkatan semakin dekat, dia tertegun bagaimana dia bisa melewati pos pemeriksaan Taliban.
Pada hari keberangkatan, Ahmed mengenakan jubah tradisionalnya. Dia sudah menumbuhkan jenggot untuk menyamarkan wajahnya. Ia akhirnya meyakinkan diri melangkah bersama saudaranya ke bandara.
Sekarang Ahmed lebih aman. Tapi perjalanannya masih jauh dari selesai.
Hari ini Ahmed sangat optimis di Islamabad. Dia menghabiskan sebagian besar harinya dengan membaca dan berjalan-jalan di lingkungan baru.
Failla mengirimkan uang kepada Ahmed dan saudaranya serta mendorong agar mereka diberikan pembebasan bersyarat dengan alasan kemanusiaan.
Hal ini memungkinkan orang-orang dalam keadaan darurat untuk pindah sementara ke Amerika Serikat, yang mana mereka bisa mengajukan petisi untuk tinggal lebih permanen.
"Kami lega mereka ada di sana untuk sementara waktu," kata Failla.
"Mereka berada dalam bahaya ekstrem (di Kabul). Ini hampir seperti genosida yang mereka (Taliban) lakukan dengan Hazara."
Sementara itu, Ahmed berusaha membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Meskipun Pakistan bukan tempat untuk kebebasan hak-hak LGBTQ, dia merasa jauh lebih aman di sana.
Kini dia akhirnya berani berharap untuk masa depannya.
(isa/bac)