Pada 2020, Erdogan mengumumkan Hagia Sophia menjadi masjid dan memicu perhatian internasional.
Pengamat politik dan Studi Internasional dari Open University, Inggris, Edward Westridge, mengatakan konsep 'neo-Ottoman' kerap digunakan para pengkritik Turki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komentar ini tertuang dalam makalah Imperial Grandeur and Selective Memory: Re-assessing Neo-Ottomanism in Turkish Foreign and Domestic Politics yang dirilis pada 2019.
"Setidaknya selama dekade terakhir, neo-Ottomanisme telah berfungsi sebagai salah satu alat konseptual utama untuk memahami kebijakan luar negeri Turki," kata Wastnidge, seperti dikutip Indian Express.
Ia lalu berpendapat, "Baru-baru ini, konsep tersebut juga muncul dalam wacana politik dalam negeri Turki, meski dengan cara yang berbeda."
Neo-Ottomanisme sebagai sebuah konsep tumbuh sekitar akhir 1980-an hingga 1990-an untuk menjelaskan aspirasi geopolitik Turki.
Istilah itu digunakan negara tetangga Turki seperti Yunani dan Armenia untuk mengkritik Turki.
Dalam wacana geopolitik Turki, penggunaan 'neo-Ottomanisme' semakin sering terjadi setelah 2020. Namun, istilah ini justru jarang digunakan dalam negeri.
Asisten profesor di Departemen Internasional Universitas Yildirim Beyazit Ankara, Omair Anas, mengatakan pada kenyataannya, jarang politikus Turki dan warga menggunakan istilah tersebut dalam debat politik sehari-hari.
"Neo-Ottomanisme dalam pengertiannya saat ini, sumber ancaman terhadap keamanan dan stabilitas kawasan, adalah ciptaan media Barat," ucap Anas.
(isa/bac)