Jakarta, CNN Indonesia -- Kampanye negatif antarkandidat kerap dipraktikkan di ajang Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah. Alih-alih dilarang, kampanye negatif malah dianjurkan oleh penyelenggara Pemilu atau Pilkda.
Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye negatif dilakukan berdasarkan fakta, sementara kampanye hitam lebih berdasar pada sesuatu yang mengada-ada dengan tujuan memojokkan lawan bertarungnya.
Komisioner KPU DKI Dahliah Umar menyebut kampanye negatif bisa menguntungkan masyarakat karena akan menambah informasi soal pasangan calon. Masyarakat juga memiliki akses untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program kandidat melalui kacamata lawan politik.
"Negative campaign itu harus diungkapkan sebagai informasi publik kepada masyarakat. Bisa tentang visi dan misi calon lain, yang menurut dia harus diceritakan kepada masyarakat," kata Dahliah, Sabtu (1/4).
Pandangan itu serupa dengan pendapat Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Menurut Titi, kampanye negatif tidak akan menjadi masalah selama dilakukan tanpa memprovokasi, menekan, intimidasi, dan upaya kekerasan.
Calon kepala daerah dianggap harus transparan dan rela rekam jejaknya dibuka ke publik di ajang pemilihan umum. Namun, pemaparan rekam jejak negatif tak berarti dilakukan dengan disertai ancaman bagi konstituen maupun kandidat lain.
"Kalau kampanye negatif dilakukan dengan memprovokasi dan mengancam serta intimidatif maka hal tersebut merupakan tindak pidana," kata Titi kepada cnnindonesia.com.
Kampanye negatif berbau SARADi ajang Pilkada DKI 2017, masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur, setidaknya melalui tim pemenangan, pernah melancarkan kampanye negatif ke masing-masing lawan.
Cagub dan cawagub petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat kerap dikampanyekan sebagai kandidat tukang gusur karena mereka kerap melakukan relokasi selama memimpin ibu kota.
Ahok-Djarot juga dicap sebagai pemimpin pro-reklamasi karena ada beberapa izin operasional yang terbit selama mereka berkuasa.
Sementara itu, Anies Baswedan kerap disinggung mengenai sejarah dirinya yang pernah dipecat dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pasangannya, Sandiaga Uno, juga disebut memiliki banyak masalah hukum.
Menurut peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan, kampanye negatif seharusnya dilakukan dengan tujuan agar pemilih berpikir kritis terhadap para kandidat. Namun, bayangan ideal itu tak terwujud karena kampanye negatif di ibu kota kerap dibalut isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
"Kampanye negatif dengan maraknya isu SARA tidaklah tepat, karena pemilih jadinya tidak berfokus pada kebijakan yang ditawarkan masing-masing calon. Padahal tantangan ibu kota cukup berat untuk mengatasi persoalan-persoalan krusial," ujar Rafif.
Rafif berpendapat kampanye negatif seharusnya bisa membangun wawasan masyarakat pemilih agar bisa mendapat pengetahuan lebih luas tanpa disertai pemaksaan kehendak sosial.
"Kampanye negatif perlu untuk mendorong rasa kritis, namun dalam batas tidak mendorong konflik sosial yang mencederai kebinekaan," kata Rafif.