Irwandi Yusuf, mantan kombatan yang lalu menjadi Gubernur Aceh pada 2007-2012, mengatakan selama masa pemerintahannya ia hanya dapat menagih dan menerapkan beberapa butir kesepakatan Helsinki. Dia juga sempat mengajukan revisi UUPA, yang merupakan turunan dari butir MoU Helsinki.
Kala itu, dia menilai, ada beberapa hal dalam UUPA yang dianggapnya tidak sesuai dengan MoU Helsinki. Hanya saja, pemikiran Irwandi tidak mendapatkan tanggapan memuaskan.
Dia pernah menyampaikan hal itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Beliau (SBY) katakan, jalankan dulu UU ini. Nanti dimana ada ganjalannya kita ubah bersama-sama,” ujar Irwandi mengutip kata-kata SBY.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
SBY memang tak menganjurkan undang-undang itu langsung direvisi. Waktu itu ia khawatir, jika parlemen mengubah terlalu jauh dari apa yang disepakati. Kata Irwandi, SBY mengusulkan agar menunggu selama dua tahun. Tapi hasilnya nihil. “Revisi tidak pernah terjadi. Kecuali satu kali, saat pencabutan pasal 286 tentang partai independen ikut serta dalam pilkada,” katanya kepada CNN Indonesia di Jakarta , pertengahan September lalu.
Dia menjelaskan, tertundanya pelaksanaan butir-butir dalam Perjanjian Helsinki sejak UUPA dibuat, berdampak besar bagi rakyat Aceh saat dipimpin olehnya. Masyarakat Aceh, kata Irwandi, sempat merasa kembali ditipu oleh Pemerintah Pusat. “Dari sana efeknya banyak. Ketidakpuasan rakyat, yang pertama. Efek psikologis bahwa Pemerintah Pusat bohong lagi. Dan yang paling sulit bagi saya, ketika banyak yang menyalahkan. ‘Kenapa Pak Irwandi enggak menagih ke Pemerintah Pusat?’ Saya jawab; sudah saya tagih. Banyak kali saya tagih,” ujarnya.
Sejak awal Irwandi setuju, Perjanjian Helsinki dapat membawa masyarakat Aceh lebih sejahtera. Namun baginya, semua itu akan dapat berjalan baik jika Pemerintah Pusat konsisten mendukung.
“Tapi kesejahteraan itu tidak mutlak hanya dibuat dari Pemerintah Pusat. Tapi juga penting untuk Pemerintah Aceh. Mampu kah pemimpin Aceh menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk membangun rakyat? Ini tergantung di (pemerintahan) propinsi juga,” kata Irwandi.
Dia mencontohkan, Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan minyak dan gas dan juga pertanahan. Hingga kini peraturan itu belum juga disahkan oleh Jakarta. “Kita sudah siapkan drafnya dan sudah dibahas. Tapi sampai sekarang belum selesai,” ujarnya.
Walau realisasi butir-butir dalam MoU Helsinki terbilang minim, Irwandi juga tak menampik banyak hal positif lainnya yang tercetus oleh Pemerintah Pusat untuk Aceh, meski tidak tercantum dalam MoU.
“Ada satu hal positif, tapi tidak ada dalam MoU. Yaitu keputusan pemberian dana Otsus, sebesar 2 persen yang diambil dari Dana Alokasi Umum Pemerintah Gubernur Aceh,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengatakan itu adalah kebijakan wajar, karena konflik di Aceh itu juga merupakan “dosa” Pemerintah Pusat sebelumnya. “Selama 30 tahun itu, Jakarta tidak bisa menyelesaikan permasalahan Aceh, akhirnya terlalu sedikit yang bisa diberikan untuk Aceh,” katanya.
Melalui kucuran dana Otsus itu, Irwandi melihat kemakmuran di tanah Aceh mulai meningkat pasca konflik. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Aceh menjadi ukuran peningkatan tersebut.
Tapi dia agak miris. Situasi damai di Aceh saat ini, kata Irwandi, bisa saja tak akan berlangsung lama. Konflik daerah pun sangat mungkin kembali terjadi di Aceh. Hal itu dapat terjadi jika Pemerintah Pusat tidak menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan Perjanjian Helsinki dengan menyeluruh.
“Saya kuatir generasi yang akan datang, kalau hidupnya pontang-panting karena tak merasakan apa yang ada di MoU dan UUPA, mereka (gerakan separatis) akan muncul lagi,” kata dia.
Karenanya, Irwandi berharap Pemerintahan Jokowi, kelak tidak melupakan apa yang sudah dijanjikan oleh pemerintah sebelumnya. “Jangan dianggap PR yang berat, tapi pikirkan ini sebagai kewajiban. Karena perjanjian itu adalah hutang, bukan pemberian, yang bisa semaunya,” ujarnya.