Suara sumbang soal pelaksanaan Perjanjian Helsinki rupanya membuat Jakarta juga meradang. Kepala Pusat Penerangan dan Humas Kementerian Dalam Negeri RI Dodi Riatmadji mengatakan Aceh kerap menuntut perhatian khusus dengan menggunakan Perjanjian Helsinki sebagai tameng.
Dia mengatakan, meski semua pengajuan yang berkaitan peningkatan kesejahteraan daerah sudah sering disampaikan ke Presiden, namun akan sangat sulit pelaksanaannya. Soalnya, kata dia, Aceh ingin melakukan semuanya sendiri dan dalam waktu yang cepat.
Dodi mencontohkan, saat Pemerintah Aceh ingin mengajukan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan tanah dan migas. “Prinsip pokoknya itu, yang masalah pertanahan, semua minta dilimpahkan ke Aceh. Padahal itu hak milik nasional yang menangani. Ini kacau kalau semua diserahkan ke Aceh,” katanya. Permintaan rakyat Aceh itu menurut Dodi di luar sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitupun dengan permintaan atas pengelolaan minyak dan gas. Dodi mengaku, Pemerintah Pusat tak akan mungkin mengabulkan permintaan mereka yang menuntut 200 mil dari lepas pantai untuk dikeloa oleh Aceh. “Seperti itu kan enggak mungkin. Itu kan kewenangan negara, bukan Pemda. Kalau 200 mil dikelola Aceh, lantas kalau diserang negara lain, ya bagaimana?” ujarnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Ikrar Nusa Bhakti melihat percikan masalah di Aceh usai Perjanjian Helsinki, membuktikan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh belum patuh pada kesepakatan.
“Buat saya, dikembalikan saja ke aturan yang sudah disepakati di UUPA. Mereka mendapatkan berapa persen, pemerintah pusat mendapatkan berapa persen. Tapi, lagi-lagi semua harus transparan,” ujarnya.
Ikrar mengatakan rekonsiliasi antara Pemerintah Aceh dengan mantan kombatan GAM menjadi hal penting. Pembagian rezeki lewat kompensasi dari MoU Helsinki yang tidak adil, kata Ikrar, dapat menyalakan kembali api konflik. “Ini menjadi persoalan utama. Terjadi karena ketidakadilan,” ujarnya.
Dia mengingatkan kembali, GAM dulu tidak mau memberikan informasi jumlah anggotanya. Misalnya, dulu jumlah kombatan yang dilaporkan pemerintah cuma 30 ribu orang. “Padahal anggota misalnya 100 ribu. Nah yang 70 ribu orang akhirnya tidak masuk daftar mereka yang layak dapat kompensasi,” ujarnya.
Apapun, perdamaian di Aceh telah berjalan sembilan tahun. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya, ia menjadi prestasi terpenting yang dicatat dunia di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Jusuf Kalla.
Tentu, keberlangsungan perdamaian di Aceh kini menjadi tantangan tersendiri di bawah pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.