Jakarta, CNN Indonesia -- Terpilihnya
Yohana S. Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diapresiasi kalangan aktivis perempuan. Yohana dinilai bisa menjadi kunci peningkatan kesejahteraan dan hak-hak perempuan di daerah timur Indonesia.
"Selama ini acuan untuk kondisi perempuan selalu ke wilayah Jawa dan Sumatera. Sementara situasi perempuan Papua dan Maluku tidak tergambar dengan baik," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari kepada CNN Indonesia, Selasa (28/10).
Dian menjelaskan berdasarkan pengalamannya, persoalan perempuan di timur Indonesia hanya terangkat ketika membicarakan persoalan wilayah konflik. Padahal, menurutnya, persoalan perempuan di timur Indonesia seperti di Maluku, Papua Barat dan Papua, tidak hanya berkaitan dengan situasi konflik melainkan persoalan kebijakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan persoalan perempuan di Indonesia timur, katanya, juga masih belum menyesuaikan dengan pengalaman dan kebutuhan perempuan. Pasalnya, kultur masyarakat Indonesia bagian timur masih berpusat dan memihak lelaki, katanya.
Terpilihnya Menteri PPA dari Papua menurutnya sebuah hal yang bagus karena bisa membantu mengangkat persoalan perempuan yang ada di Indonesia bagian timur.
"
Mama Yohana mewakili harapan untuk membuka cara pandang dan lebih memberdayakan perempuan di Indonesia bagian timur," ujar dia.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua meningkat sebesar 42,76 persen. Data Kemenkes juga menunjukkan pertolongan persalinan kesehatan di Papua yang terburuk dan terendah dari semua provinsi di Indonesia timur. Hal ini menunjukkan masih adanya persoalan mendasar dalam cara pemerintah daerah menangani kasus-kasus perempuan di Indonesia bagian timur.
Dian kemudian mengatakan sejauh ini komunitas dan aktivis yang peduli pada perempuan sudah terbentuk di Indonesia bagian timur. Sayangnya, keberadaan lembaga dan aktivis tersebut dihambat oleh sulitnya proses birokrasi di daerah timur.
"Mereka suka kesulitan meminta data-data seperti angka Kematian Ibu Anak (AKI) ataupun kasus HIV/AIDS," katanya. "Mudah-mudahan dengan adanya 'Mama Yohana' bisa lebih terbuka akses perlindungan serta politik bagi perempuan di Indonesia timur."
Sementara itu, Tien Handayani selaku Ketua Bidang Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) mengatakan Menteri Yohana mesti bisa melakukan lobi dengan kementerian lain, seperti Kementerian Dalam Negeri ataupun Kementerian Hukum dan HAM.
Hal itu disebabkan kedua kementerian tersebut yang terutama bertanggungjawab terhadap lolosnya peraturan-peraturan diskriminatif atas perempuan.
Dia melihat latar belakang Yohana sebagai kalangan akademisi mungkin menyulitkan langkahnya untuk melakukan lobi politik. Oleh karena itu, dia berpendapat sebaiknya Presiden Jokowi membantu membukakan jalan tersebut.
"Kalau ternyata Menteri Yohana belum sanggup karena masih memetakan politik kementerian. Semestinya, Presiden Jokowi bisa bantu bukakan akses," kata dia.
Presiden Jokowi, yang telah menunjuk
Menteri Yohana, semestinya juga bisa membantu dengan menginstruksikan langsung ke kementerian terkait untuk menindak peraturan diskriminatif atas perempuan.