Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum yang peduli terhadap persoalan keadilan jender dan hak-hak perempuan meminta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) terpilih Yohana S. Yasembi untuk melakukan reformasi hukum dalam awal kepemimpinannya. Peraturan perundangan yang berlaku sejauh ini dinilai mereka masih diskriminatif terhadap perempuan.
"Menteri harus bisa pastikan untuk melakukan reformasi terhadap peraturan perundangan yang diskriminatif pada perempuan terutama peraturan daerah di awal kinerjanya," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (28/10).
Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terdapat 342 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan hingga 2013. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2012, di mana peraturan diskriminatif mencapai 282. Peraturan daerah diskriminatif terus meningkat semenjak keran otonomi daerah dibuka oleh pemerintah. "Bisa lihat yang terbaru qanun Aceh yang sangat mendiskreditkan perempuan," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meningkatnya peraturan daerah diskriminatif menunjukkan masih rendahnya pemahaman berperspektif jender di kalangan pembuat kebijakan, ujar Sulistyowati. “Aturan tersebut dibuat dengan tidak melihat perempuan sebagai pihak yang rentan terkena kekerasan seksual,” kata dia.
Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia tersebut mengatakan undang-undang untuk melindungi perempuan selama ini memang sudah ada.
Dia menyebutkan contoh seperti diantaranya Undang-Undang (UU) Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Anti Trafficking serta UU Kewarganegaraan.
UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 sendiri juga sudah menegaskan bahwa hak-hak perempuan termasuk ke dalam hak asasi manusia. "Undang undang ini menjadi tonggak buat perlindungan HAM atas perempuan," kata dia.
Namun, meski sudah cukup banyak UU yang muncul selama kepemimpinan era Susilo Bambang Yudhoyono, Sulistyowati menilai masih tidak cukup ruang bagi perempuan untuk memperdengarkan suaranya.
"Pengambilan keputusan harus adopsi pengalaman perempuan. Lahirnya peraturan diskriminatif ini kan menunjukkan sebaliknya," ujar dia.
Sementara itu, Masruchah selaku wakil ketua Komnas Perempuan mengatakan peraturan perundangan yang ada masih tidak mengayomi perempuan. Pembuat kebijakan dinilainya tidak paham UU HAM, tata pembuatan perundangan serta ratifikasi konvensi ekonomi, sosial dan budaya. “Akibatnya, perempuan dipinggirkan hanya karena persoalan sepele, seperti
stereotipe,” ujar dia.