KONFLIK AGRARIA

Ribuan Keluarga Terlantar dari Konflik Lahan

CNN Indonesia
Kamis, 13 Nov 2014 14:12 WIB
Konflik lahan yang terjadi di Kalimantan Selatan menyebabkan ribuan petani terlantar dan kehilangan mata pencaharian.
Sejumlah seniman membuat karya seni intalasi yang membentuk tulisan NOT FOR SALE di persawahan Desa Tegalalang, Gianyar, Bali, Sabtu (18/10). (AntaraFoto/Fikri Yusuf).
Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan telah menyebabkan ribuan keluarga petani terlantar dan kehilangan mata pencaharian mereka. Beberapa korporasi tambang dan kelapa sawit diduga telah melakukan pelanggaran perizinan lahan.

Hal tersebut disampaikan oleh M Irsyad Thamrin dari Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada CNN Indonesia, Kamis (13/11).

“Kami cermati sepanjang tahun 2014 ini salah satu isu pelanggaran sumber daya alam mengenai konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dan korporasi,” kata dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan data dari WALHI, sebanyak 6.420 kepala keluarga menderita kerugian akibat konflik lahan di Kalimantan Selatan. WALHI sendiri telah menerima pengaduan sebanyak 27 kasus mengenai konflik lahan antara korporasi dan masyarakat.

“Dari pengaduan tersebut, korporasi tambang dan kelapa sawit yang paling banyak terlibat kasus konflik agraria,” kata dia menjelaskan.

Dia mencontohkan kasus yang terjadi di Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan di mana sebuah korporasi pertambangan tiba-tiba mengantungi izin pemilikan atas lahan milik masyarakat.

“Tanah itu sudah dikelola masyarakat puluhan tahun. Tiba-tiba perusahaan bersangkutan mencaplok dan menunjukkan izin perorangan yang sebenarnya sudah kadaluarsa,” ujar dia.

Izin bertahun 1982 tersebut, katanya, diberikan oleh kepala desa atau camat setempat. Irsyad mengatakan tindakan itu telah melanggar hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).

Hak tersebut berkaitan dengan hak untuk memperoleh pekerjaan, perumahan, pendidikan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat, yang semestinya dijamin oleh pemerintah.

Masyarakat petani yang telah lama menggunakan lahan tersebut kemudian dikenakan pasal pidana oleh korporasi bersangkutan. Tak hanya itu, mereka juga kehilangan mata pencaharian sehari-hari sebagai petani dan saat ini mesti bekerja serabutan untuk menafkahi anggota keluarga.

“Mereka akhirnya dikriminalisasi karena telah memanfaatkan tanah masyarakat bersama,” kata dia. “Sayangnya negara absen dalam penyelesaian konflik lahan ini.”

Sementara itu, Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan mengatakan pemerintah daerah semestinya bisa lebih berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan.


Hal tersebut, katanya, sesuai dengan instrumen Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Fasilitasi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

“Perda ini sebenarnya merupakan mandat bagi Gubernur, Bupati dan DPRD tingkat Provinsi atau Kabupaten Kota untuk tuntaskan persoalan ini,” kata dia.

Absennya peran pemerintah dalam sengketa konflik pertanahan menurut  Nur Kholis  selaku Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bisa melanggar instrumen hak asasi manusia.

“Negara semestinya hadir dalam melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman bagi seluruh masyarakat. Konflik agraria lekat dengan timbulnya pelanggaran HAM yang terjadi selama ini,” kata dia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER