Jakarta, CNN Indonesia -- Tutik masih ingat pesan yang diucapkannya kepada Anda Dwi Wulandari dua tahun silam. Ia memang berat melepas Anda, puteri bungsunya itu, pergi bekerja di Malaysia. Sebagai ibu, Tutik yang kini berusia 60 tahun dan tinggal di Blitar, Malaysia adalah negeri yang jauh dari jangkauannya.
Saat itu Anda sudah berdiri di depan pintu, dan dia pamit. Setahun lagi perempuan itu menginjak usia tiga puluh. Hidupnya tak begitu mudah selaku janda beranak tiga. Tutik, sang ibu pun memberi pesan. "Kalau sudah dapat hasil kamu pulang ya, bayarin sekolah anak-anakmu,” ujarnya kepada Anda.
Anda sebetulnya sudah pernah bekerja di luar negeri. Ia pernah menjadi pembantu rumah tangga di Makau, Tiongkok. Tapi entah mengapa kali ini Tutik cemas melepas putrinya memburu ringgit ke negeri tetangga. “Jantung saya berdebar,” ujarnya kepada CNN Indonesia bulan lalu. Ia seperti tidak rela.
Anda tak pergi sendiri. Saat itu dia pamit bersama teman perempuannya, Erna. Mungkin firasat seorang ibu, kata Tutik, ia merasakan ada yang tak beres pada Erna. Tapi ia simpan saja keraguannya itu di dalam hati. Soalnya, Anda kalau sudah punya kemauan sering keras kepala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru sebulan Anda pergi, tiba-tiba Tutik mendengar kabar buruk.
Anak bungsunya itu ditangkap kepolisian Filipina. Menurut kabar, dia dijaring satuan tugas gabungan dari Biro Bea Cukai dan Badan Narkotika Filipina (PDEA) di Terminal Satu Bandara Internasional Ninoy Aquino pada September 2012.
Tapi informasi yang membuat Tutik lebih kaget adalah kabar ini:
Anda ditangkap akibat mencoba menyelundupkan enam kilogram kokain dari Dubai. Kata polisi, Anda membawa kokain dengan cara estafet. Rutenya panjang. Dia melewati dua benua. Anda terbang dengan penerbangan Surabaya-Jakarta–Malaysia–India-Hong Kong–Huang Zu–Doha–Brazil–Peru–Brazil–Dubai-Manila.
Anda, kata Tutik, memang mendapat tawaran kerja dari agen penyalur tenaga kerja di Malaysia. "Setahu saya dia bekerja ke Malaysia terus ke China untuk membawa dokumen-dokumen foto," kata Tutik.
Kabar itu tentu saja membuat Tutik lemas. Apalagi seorang pejabat kementerian luar negeri membenarkan penangkapan anaknya itu. Ia teringat firasat buruk yang sempat melintas sewaktu Anda pamit bersama Erna. Ia hanya bingung tak tahu mengadu ke mana. “Kata kakaknya Anda banyak kasus di Indonesia tidak bisa diselesaikan. Apalagi yang ada di luar negeri?” ujar Tutik.
(Lihat infografisnya:
Perempuan di Balik Lalu Lintas Narkotika)
Kini Anda sudah dua tahun meringkuk di penjara Manila. Ia masih menunggu proses persidangan. Vonis belum dijatuhkan pengadilan. Hingga sekarang pihak keluarga masih berharap pemerintah bisa melindungi anaknya.
Namun kata Tutik, pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) semakin sulit dihubungi. Berkali-kali dia mencoba kontak dengan kedutaan. Hasilnya nihil. Alasannya, pejabat yang mengurusi persoalan ini sedang sakit. “Begitu terus jawabnya,” kata Tutik.
Belum maksimal
Perkara yang menimpa Anda memang berat. Migrant Care, lembaga advokasi buruh migran yang kini mendampingi kasus Anda, mengungkapkan perempuan itu tertangkap membawa sekoper heroin. Tapi Anda tak sadar dengan isi koper itu. Ia mengira yang dibawanya adalah setumpuk dokumen.
“Anda mengaku ini baru pertama kali dilakoninya. Ia tak tahu apa-apa,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah saat ditemui langsung CNN Indonesia di kantornya di Pulo Asem, Pulogadung, Jakarta Timur.
Migrant Care juga menyayangkan bahwa kasus Anda hanya dilihat sebagai kasus narkotika. Seharusnya, kata Anis, proses pengadilan mengaitkan kasus itu dengan sindikat perdagangan manusia. “Masih banyak TKI lain bernasib seperti Anda. Mereka itu korban trafficking, bukan semata kejahatan narkotika internasional," ujar Anis.
Selama ini, kata Anis, pemerintah jarang membela warga negara Indonesia yang terjebak dalam kasus narkotik internasional. Petugas pemerintah justru kerap memberi label buruk kepada WNI yang tertangkap kasus narkotika. “Mereka bilang 'ini anaknya kan mau jualan narkoba biar duitnya banyak. 'Lha, kita bisa apa?" kata Anis menirukan ucapan salah satu petugas pemerintah.
Untuk advokasi kasus Anda, kata Anis, Migrant Care lebih banyak bekerjasama dengan jaringan LSM pembela hak-hak buruh migran yang berdomisili di Manila, Filipina. "Seringkali Anda sidang enggak ada yang menemani. Akhirnya kami minta bantuan jaringan LSM di Manila," kata Anda. “Sebab pihak pemerintah, posisinya selalu menyalahkan korban.”
Tapi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) punya alasan. Soalnya, tak semua kasus yang menjerat WNI di luar negeri dapat bantuan hukum dari pemerintah. “Pemerintah memiliki bantuan pengacara tetap untuk kasus hukum WNI di beberapa negara prioritas saja seperti Iran dan China,” ujar Tatang Boedi Utama, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kemenlu kepada CNN Indonesia.
Untuk kasus narkotika di negara Filipina, Tatang mengatakan hukumannya tanpa toleransi, yaitu hukuman mati. “Filipina memang menerapkan hukuman mati, sayangnya kami tidak prioritaskan pengacara di sana.”
Sasaran sindikat internasional Menurut Direktur Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, Aset dan Tindak Pidana Pencucian Uang Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Sundari, tenaga kerja wanita dari Indonesia banyak disasar oleh sindikat narkotika internasional. Itu terjadi karena perempuan Indonesia mudah terkena rayuan.
Mereka, kata Sundari, kurang pendidikan dan informasi. Itu sebabnya, tenaga kerja perempuan perlu dididik mentalnya supaya kuat, dan tak langsung diterjunkan kerja ke luar negeri. “Kalau tidak, bisa jadi sasaran empuk sindikat narkotika," ujarnya.
Tutik, sang ibu yang tinggal di Blitar itu, belum tahu rumitnya perkara yang membebat Anda. Putrinya itu kini dibayang-bayangi hukuman mati. Ia teringat lagi pesannya kepada Anda, segera pulang agar bisa membayar sekolah anak-anaknya itu.