Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Wali kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh mengaku memberikan keterangan palsu saat bersaksi pada sidang kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bulan Maret 2014 lalu. Kesaksian fiktif tersebut diberikan merujuk pada Berita Acara Pemeriksaan saat penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Istri saya dapet telepon dari Muhtar Effendy dan menyuruh istri saya menyampaikan ke saya, kalau nanti diperiksa KPK, bilang tidak kenal Muhtar," ujar Romi ketika diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Muhtar Effendy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis petang (24/11).
Senada dengan suaminya, Masyitoh menuturkan perintah dari Muhtar Effendy. "Dia (Muhtar) menelepon saya, mengatakan kepada saya bahwa dia selesai diperiksa. Dia sampaikan, nanti kalau saya dipanggil di sidang Akil Mochtar, sebutkan saya tidak kenal Muhtar Effendy, tidak pernah membeli atribut kampanye, tidak pernah ke Bank Kalbar dan tidak pernah komunikasi, dan tidak ada penyerahan uang ke Bank Kalbar," ucapnya. (Baca juga:
Ada Hakim Lain Terima Duit Suap Rp 9 miliar)
Lebih jauh, Hakim Ketua Supriyono mencecar ihwal kesaksian palsu keduanya yang diperintahkan oleh makelar kasus Muhtar Effendy. "Saudara diperiksa (saat sidang Akil) Maret 2014. Apa yang Saudara sampaikan di persidangan?" tanya Supriyono dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis malam (24/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi pertanyaan hakim, Masyitoh mengaku keterangannya sesuai dengan BAP yang diakuinya merupakan keterangan fiktif. Hakim Supriyono pun mencecar ihwal hal yang sebenarnya terjadi. (Baca juga:
Perantara Suap Akil Diduga Ingin Hilangkan Jejak Kasus)
"(Yang sebenarnya), saya kenal dengan Muhtar Effendy pada 2012. Saya sering bikin atribut kampanye ke dia. Saya pernah pergi ke Bank Kalbar sesuai dengan permintaan Muhtar," ucap Masyitoh.
Kesaksian keduanya menguatkan dakwaan yang dipaparkan jaksa penuntut umum KPK kepada pengusaha Muhtar Effendy, pekan lalu. Muhtar diduga menjadi kaki tangan Akil Mochtar dalam penanganan beberapa sengketa Pilkada di sejumlah daerah. Salah satunya, yakni Pilkada Walikota Palembang pada tahun 2013 yang diajukan Walikota nonaktif Palembang Romi Herton dan pasangannya, Harno Joyo.
Romi tak terima dengan hasil Pilkada yang memenangkan rivalnya, Sarimuda san Nelly dengan selisih suara sebanyak delapan. Ia mengajukan gugatan ke MK. Kemudian, kasus tersebut ditangani oleh Hakim Ketua Akil Mochtar bersama dengan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Anwar Usman.
"Setelah suami saya dinyatakan kalah di Komisi Pemilihan Umum, Muhtar menelpon, menanya keadaan. Saya katakan suami saya dicurangi pihak lawan. Muhtar bilang, apa mau diurus atau tidak. Dia bilang, suami saya bisa dicurangi dua kali. Pihak lawan suami saya sudah dihubungi (Muhtar) dan siap menyerahkan dana Rp 4 miliar sampai Rp 4,5 miliar ke Muhtar. Kalau Kiai (Romi) menangnya tipis, Kiai bisa digugat lagi," tutur Masyitoh.
Menurut pengakuan Masyitoh, Muhtar kemudian meminta uang Rp 10 miliar untuk membantu mengurus sengketa. Setelah negosiasi, keduanya sepakat pada angka Rp 7 miliar.
Namun, berdasar surat dakwaan, pada tanggal 13 Mei 2013, Masyitoh menyerahkan uang senilai Rp 11,3 miliar dan USD 316 ribu melalui Muhtar di Bank Pembangunan Daerah Kalbar Cabang Jakarta. Kemudian, pada tanggal 18 Mei 2013, Muhtar menyerahkan USD 316 ribu dan Rp 3,8 miliar ke Akil. Kemudian, pada tanggal 20 Mei 2013, Akil meminta mantan Wakil Kepala BPD Kalbar Cabang Jakarta Iwan Sutaryadi untuk mentransfer uang suap tersebut sebanyak Rp 3,8 miliar ke rekening giro atas nama CV Ratu Smagat di BNI Cabang Pontianak. Sementara sisanya senilai Rp 7,5 miliar disetorkan ke rekening atas nama Muchtar Effendy.
Pada hari yang sama, majelis hakim MK memenangkan gugatan Romi dan Harno. Alhasil, Akil dan hakim lainnya memutuskan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Palembang pada April 2013 tidak berlaku.
Akil juga menetapkan Romi memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebanyak 316.919 suara. Jumlah tersebut mengalahkan rivalnya Sarimuda dan Nelly dengan selisih suara sebanyak 23 suara.
Setelah pemutusan perkara, Masyitoh kembali menyerahkan uang kepada Akil melalui Muchtar Effendy sebanyak Rp 2,75 miliar.
Atas tindakan tersebut, dalam dakwaan primer, Muhtar dijerat Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sedangkan dakwaan kedua, Muchtar dijerat Pasal 22 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Ancaman hukuman untuk Muchtar yakni 12 tahun penjara.