Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membeberkan sejumlah pelanggaran HAM oleh pihak kepolisian melalui mal-administrasi. Menurut cacatan Ombudsman, kepolisian merupakan lembaga tertinggi kedua setelah pemerintah daerah yang kerap mendapat kritik dari masyarakat.
Kepala Biro (Kabiro) Administrasi Sistem Informasi dan Laporan ORI, Budiono Widagdo, menuturkan mal-adminiatrasi terjadi di sejumlah polsek hingga mabes Polri di Indonesia.
"Misalnya saat disidik, penyidikan bertahun-tahun tapi tidak diinformasikan tindak lanjut apa yang terjadi. Pelapor kemudian menginformasikan adanya penundaan yang berlarut," ujar Budiono dalam Seminar Pelayanan Publik di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (10/12).
Selain itu, Budiono menyebut adanya keberpihakan dalam pengusutan sejumlah kasus di kepolisian. "Pada saat penanganan perkara, keberpihakan pelaksanaan di lapangan. Penanganan orang tertentu, ada yang
strict ada yang luwes," ujar Budi ketika dikonfirmasi lebih lanjut usai acara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberpihakan ini terjadi lantaran adanya hubungan relasi antara tersangka dan aparat penegak hukum. "Hubungan yang kadang-kadang menjadi independensi tidak terjaga sehingga pemeriksaan lebih longgar," katanya.
Lebih jauh, maladministrasi juga terjadi dengan modus pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). "SKCK yang harusnya gratis tapi ada pungutan. SIM juga sama. Ada tempat tertentu yang
strict, contoh di Daan Mogot atau Jakarta Timur, tapi ada wilayah lain yang tidak," ujarnya. Budi menambahkan, pungutan liar tersebut biasa dilakukan oleh oknum secara sembunyi-sembunyi.
Menurutnya, penyimpangan tersebut harus segera ditindak lantaran pelayanan publik harus dihormati dan dilindungi. "Ombudsman memberikan rekomendasi ke kepolsian dan biasanya mereka segera menyelesaikan. 50 persen rekomendasi kami dilakukan oleh polisi," katanya.
Secara general, Budi menyampaikan sejumlah faktor yang menyebabkan maladministrasi masih saja terjadi. Salah satu faktor yaitu tidak adanya kepastian jangka waktu proses penyelesaian layanan. "Tidak ada kepastian biaya, tidak ada kejelasan syarat yang diperlukan dalam pelayanan dan pemberi layanan yang kurang profesional," tuturnya.
Sejak Januari hingga November 2014, Ombudsman menerima laporan dari publik sebanyak 5.796 laporan. Jumlah laporan ini mengalami eskalasi dari tahun sebelumnya. Tahun 2013 Ombudsman mencatat sebanyak 5.173 laporan. Sementara itu, pada tahun 2012 sejumlah 2.209 laporan masuk ke lembaga tersebut. Satu tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2011 sebanyak 1.867 laporan diterima.