Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Republik Indonesia memenangkan gugatan terkait Bank Century di Majelis Hakim Arbitrase Internasional. Kasus tersebut merupakan gugatan yang diajukan salah satu pemegang saham Century (sekarang Bank Mutiara), Hesham Al Warraq.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan putusan Majelis Arbitrase Internasional itu terbit pada 15 Desember.
"Dengan kemenangan ini dan kemenangan RI sebelumnya atas gugatan (mantan pemilik saham Bank Century) Rafat Ali Rizvi, pemerintah terhindar dari kemungkinan membayar ganti rugi senilai hampir US$ 100 juta, setara dengan Rp 1,3 triliun," kata Tony dalam keterangan tertulis, Rabu (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum ini, Majelis Arbitrase International
Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) juga mengeluarkan putusan yang memenangkan pemerintah dalam gugatan yang diajukan Rafat Ali Rizvi, buronan kasus Century berkewarganegaraan Inggris.
Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan pidana terhadap Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvi atas dakwaan melarikan uang lebih dari US$ 300 juta dari Bank Century. Keduanya dijerat pasal UU Anti Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua terdakwa tidak hadir di persidangan sehingga diadili secara in absentia.
Pada 2011, Hesham Al Warraq yang merupakan mantan Wakil Komisaris Utama Bank Century mengajukan klaim terhadap pemerintah sebesar US$ 19,8 juta dengan mengacu pada Perjanjian Investasi Antar Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Pria berkewarganegaraan Arab Saudi itu meminta ganti rugi atas tindakan pemerintah Indonesia yang dia anggap telah melakukan ekspropriasi atas saham di Bank Century. Ekspropriasi adalah pengambilan aset milik orang lain dengan membayar kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan.
"Sehubungan dengan klaim yang dimaksud, Majelis Arbitrase sepakat untuk menolak gugatan Hesham Al Warraq perihal ekspropriasi. Majelis pun menolak memeriksa gugatan Hesham bahwa dia tidak mendapatkan perlakuan adil dan setara (
fair and equitable treatment)," kata Tony.
Gugatan Hesham ditolak karena Majelis Arbritrase menilai perjanjian OKI mewajibkan setiap investor "menahan diri dari seluruh tindakan yang dapat mengganggu ketertiban umum atau moral atau yang dapat merugikan kepentingan umum." Atas dasar itu, Majelis memutuskan Hesham melanggar ketentuan Perjanjian OKI.
"Selain menolak gugatan Hesham Al Warraq, di sisi lain terdapat gugatan Rekonvensi Pemerintah Indonesia yang ditolak oleh Majelis Hakim Arbitrase dengan alasan tidak ada pembedaan yang jelas antara penipuan yang dilakukan oleh Hesham dengan penipuan yang dilakukan oleh Rafat dan entitas-entitas lainnya yang tidak menjadi pihak dalam perkara arbitrase ini," kata Tony.
Penipuan terkait Perjanjian
Asset Management Agreement (AMA) harus diselesaikan oleh Forum Arbitrase terpisah di Singapura sesuai dengan Klausul Perjanjian AMA.