Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung M Prasetyo menilai pengajuan peninjauan kembali (PK) setelah grasi ditolak Presiden dapat diperdebatkan. PK berulang disebut menghambat eksekusi mati terpidana narkoba.
"Mestinya kalau sudah grasi, sudah mengaku salah dan minta ampun, tidak ada lagi upaya hukum," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (24/12).
Prasetyo mengaku kesulitan mengeksekusi terpidana mati karena mereka mengajukan PK bahkan setelah grasinya ditolak Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan, pengajuan PK setelah grasi ditolak, dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan pengajuan PK lebih dari sekali.
Tony menyatakan grasi dan PK adalah dua hal terpisah. "Grasi artinya Presiden sudah tidak memedulikan aspek yuridis dalam mengambil keputusan. Sementara PK masih dalam ranah yuridis,” kata dia.
Untuk memperlancar proses persiapan eksekusi mati, Kejaksaan Agung berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk mengusulkan pembatasan waktu pengajuan PK. "Ada (terpidana) yang menyatakan akan mengajukan PK sejak 2010 namun sampai sekarang belum juga mengajukan,” ujar Tony.
Oleh karena itu Kejagung ingin membatasi waktu pengajuan PK, yakni enam bulan sejak dia menyatakan akan mengajukan. "Jika tidak mengajukan dalam enam bulan, maka dia dianggap menerima putusan," kata Tony.