Jakarta, CNN Indonesia -- Hilangnya pesawat QZ8501 milik maskapai penerbangan AirAsia disinyalir akibat cuaca buruk serta awan kumulonimbus. Kapten Irianto yang menjadi pilot dalam penerbangan tersebut, menurut AirNav, telah memiliki data mengenai cuaca dalam rencana rute penerbangannya.
"Data cuaca sudah kami berikan. Jika mau terbang harus mempertimbangkan itu. Tapi cuaca bisa berubah setiap saat," kata Direktur Utama AirNav Indonesia, Ignatius Bambang Tjahjono, saat ditemui di Kantor Otoritas Bandara Wilayah 1 Soekarno-Hatta, Senin (29/12).
Sebelum hilang kontak, QZ8501 berkomunikasi dengan menara pemandu lalu-lintas udara Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Saat itu Air Traffic Controller (ATC) belum mengizinkan pesawat tersebut untuk naik ke ketinggian 38 ribu kaki dari 32 ribu kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu pesawat diminta untuk posisi
standby," ujar Bambang. Waktu ketika itu menunjukkan pukul 06.12 WIB, dan pemandu lalu-lintas udara sedang mencari informasi mengenai pesawat-pesawat lain yang berada di sekitar QZ8501.
Diketahui di atas pesawat AirAsia, pada lokasi ketinggian yang diminta oleh pilot Irianto untuk menaikkan pesawat, yakni 38 ribu kaki, ada satu pesawat Garuda Indonesia. "Petugas sedang mencari tahu, Garuda mau ke mana. Tapi tak lama kemudian, sudah hilang kontak dengan AirAsia," kata Bambang. (Baca
AirNav: Kalau Diizinkan Naik, AirAsia Bisa Tabrak Garuda)
Selain pesawat Garuda Indonesia, di sekitar pesawat QZ8501 saat itu berseliweran juga tujuh pesawat lain, di antaranya Emirates dan Lion Air. Seluruh pesawat itu terbang dalam area udara yang berdekatan dengan awan kumulonimbus di atas Tanjung Pandan, Belitung. (Baca Lapan:
AirAsia Diduga Masuk Awan Badai Kumulonimbus)
Koordinator Mitigation, Rescue and Conservation MRC Community A. Lesto P. Kusumo mengatakan awan kumulonimbus merupakan musuh utama pilot. Beberapa awan kumulonimbus memiliki pusaran dan turbulensi yang sangat kuat, ditandai dengan kilatan petir di inti awan sehingga pesawat yang terjebak akan terhisap dan hancur berkeping-keping.
Tak hanya itu, pesawat yang terjebak di awan tersebut bisa terhempas cukup kuat sehingga sistem kelistrikan pesawat akan mati. "Dalam cuaca ekstrem di Indonesia, awan menara ini berbentuk tunggal dan bahkan menjadi satu kelompok awan," kata Lesto seperti dikutip dari situs bpbd.jakarta.go.id.
Sebelumnya, Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmodjo, mengatakan cuaca di lokasi saat pesawat hilang kontak memang buruk. Ini berbeda dengan cuaca cerah saat pesawat lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya. Djoko menegaskan, cuaca memang bisa berubah setiap saat.