Jakarta, CNN Indonesia -- Seluruh fraksi di Komisi II DPR setuju untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Meski sudah disahkan, masih banyak catatan-catatan yang diberikan oleh beberapa fraksi agar Perppu tersebut dapat direvisi sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Fraksi Partai Golkar contohnya. Ada beberapa banyak hal yang menjadi catatan penting Partai Golkar. Pertama mengenai pasangan dari calon kepala daerahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasal 40 Perppu mengatur bahwa calon kepala daerah harus berpasangan dengan wakilnya. Namun pada pasal lain disebutkan bahwa calon kepala daerah tidak berpasangan," kata anggota Komisi II fraksi Golkar Agung Widiantoro di Gedung DPR, Jakarta, Senin (19/1).
Selain itu Pilkada serentak yang diatur dalam Perppu ini, lanjut Agung, juga akan membuat Plt Kepala Daerah menjabat dalam rentang waktu cukup lama. "Padahal Plt terbatas dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis," ujarnya.
Faktor keamanan pun menjadi poin yang dipertanyakan oleh Agung. Menurutnya, proses pilkada yang cukup panjang akan membuat pengamanan sulit dilakukan karena bisa berlangsung dua putaran. Terakhir, Agung juga keberatan karena dalam Perppu diatur bahwa sengketa Pilkada akan disidangkan di Mahkamah Agung.
"MA justru berpendapat sengketa harusnya tidak di MA, tapi badan khusus di luar pengadilan," ujarnya.
Belum lagi perihal uji publik para calon kepala daerah yang diatur selama tiga bulan. Uji pubik ini menurut Agung akan membuat proses Pilkada akan semakin panjang.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa juga memandang beberapa poin yang harus direvisi dalam Perppu Pilkada, seperti persyaratan calon kepala daerah. Menurutnya persyaratan yang ada saat ini terkesan lebih banyak ke hal yang bersifat administratif. Tapi persyaratan tersebut belum tentu menggambarkan kualitas calon kepala daerah.
"Lebih banyak pada kelengkapan berkas atau dokumen yang dibutuhkan, namun seringkali dokumen ini tidak menggambarkan secara tepat kompetensi, integritas dan kepemimpinan individu calon," kata anggota komisi II fraksi PKB Yanuar Prihatin.
Uji publik dan calon pasangan kepala daerah juga menjadi poin yang dipandang perlu untuk direvisi oleh PKB. Yanuar juga menyoroti indeks kepemimpinan daerah (IKD). Menurutnya, apabila IKD ini tidak diberlakukan secara serius dalam meloloskan seorang calon kepala daerah, dapat mengakibatkan banyak masalah.
"Hasilnya kepala daerah banyak masuk bui, kemiskinan lambat diatasi, KKN merajalela di daerah, insfrastruktur tambal sulam, pertanian bergerak lambat, dan seterusnya," tegasnya.
Yanuar lebih sepakat diterapkan alat ukur baru untuk menilai seorang calon kepala daerah berdasarkan IKD dengan mencakup berbagai aspek secara komprehensif, obyektif, akurat dan terukur.
Sementara fraksi PAN menyoroti soal penyelesaian sengketa pilkada. Menurut mereka, penyelesaian sengketa pilkada tidak dapat dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, rezim pelaksanaan pilkada tidak sama dengan pelaksanaan pemilu.
"MK tidak berhak mengadili atau memutus sengketa pilkada. Pilkada tidak masuk ke dalam rezim pemilu," kata anggota Fraksi PAN Sukiman. Pilkada menurutnya merupakan rezim pemda yang sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus diselenggarakan secara demokratis.
Pada tahun 2015 ini setidaknya ada 204 pilkada yang antre untuk dilaksanakan. Hal ini yang menjadi sorotan khusus fraksi PPP.
Anggota fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan, jika dalam pelaksanaan pilkada terjadi sengketa, maka diperkirakan akan terjadi pembengkakan perkara yang masuk ke pengadilan. Sementara jumlah lembaga peradilan yang ditentukan untuk mengadili sengketa pilkada terbatas.
"Diperlukan persiapan pengadilan baik pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung, mengingat waktu penyelesaian sengketa pilkada terbatas," katanya. Ia menilai hal ini sangat beresiko karena rata-rata satu pengadilan tinggi bisa menangani 60 sengketa pilkada.
(sur/sur)