Jakarta, CNN Indonesia -- Staf Administrasi Keuanganan PT Duta Citra Laras (PT DCL) Budi Margono mengungkapkan ada pembelanjaan fiktif senilai Rp 15 miliar menggunakan duit proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang. Barang bukti fiktif berupa kuitansi pembelian juga dibuat.
"Pak Roni Wijaya (Direktur Operasional PT DCL) enggak mau bayar pajak terlalu gede, jadi dibuat seolah-olah kita ada pembelian ke PT Indometal," ujar Budi saat bersaksi untuk terdakwa korupsi Hambalang sekaligus Direktur Utama PT DCL Machfud Suroso di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (21/1).
Dalam proyek tersebut, DCL merupakan subkontraktor untuk pekerjaan mekanikal elektrik. Budi mengatakan apabila duit tersebut dicatat sebagai pengeluaran, maka akan meminimalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Itu pemasukan diubah ke pengeluaran. Intinya seperti itu," kata Budi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak puas dengan jawaban tersebut, Hakim Ketua Sidang Sinung Hermawan mencecar keterangan saksi soal aliran duit. "Itu masuk rekening mana?" tanyanya saat sidang berlangsung.
Budi menjawab, duit belanja fiktif tersebut mengalir ke rekening perusahaan tempatnya bekerja. "Pertanggungjawaban ke Pak Roni," kata dia.
Atas jawaban Budi Gunawan itu, Roni tak membantah dan tak juga mengakui.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi saat sidang satu bulan yang lalu, dalam pelaksanaannya PT DCL menjadi subkontraktor atau KSO dengan PT Adhi Kary, menjadi PT Adhi-Wika. PT Adhi-Wika menerima duit sebanyak Rp 453 miliar dari Kementerian Pemuda dan Olah raga.
Sebanyak Rp 295 miliar menjadi jatah PT DCL untuk menggarap. Namun duit yang diberikan baru sebesar Rp 165 miliar lantaran proyek baru berjalan 63 persen. Dalam penggarapan, jaksa menemukan bahwa duit yang terpakai hanya sebesar Rp 103 miliar. Alhasil DCL meraup keuntungan Rp 62 miliar.
Dari total Rp 103 miliar, jaksa juga mengungkap bahwa sebenarnya hanya Rp 89 miliar yang benar-benar digunakan. Sisanya senilai Rp 96 miliar digunakan untuk dibagi ke sejumlah pihak dan Rp 46,5 miliar digunakan untuk kepentingan Machfud.
Atas tindak pidana tersebut, Machfud diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
(rdk/agk)