Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengaku tidak memahami dasar dari temuan pelanggaran yang ditemukan oleh Komnas HAM, terkait penetapan status dan pemeriksaan perkara Bambang Widjojanto oleh Polri.
Menurutnya, semua mekanisme yang dilakukan Polri kepada Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur Kepolisian.
"Saya tidak tahu di mana yang dianggap melanggar HAM. Kita sudah sesuai dengan SOP yang sudah dibuat. Suruh pelajari saja SOP kita," tutur Badrodin di Gedung Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta, Jumat (6/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bantahan terus dilontarkan oleh Badrodin atas tudingan Komnas HAM, yang menyatakan bahwa Polri telah melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) pasal 36 ayat satu dan dua mengenai cukupnya bukti yang telah dikumpulkan dan juga tentang pemanggilan yang sah dilakukan penangkapan.
"Kalau Perkap tidak sama dengan undang-undang, maka UU yang berlaku, bukan Perkapnya," ujarnya.
Sebelumnya, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar Polri melakukan penyelidikan internal atas dugaan adanya
abuse of power dalam penetapan tersangka kepada Bambang, dan juga penangkapan yang dilakukan pada 23 Januari silam. Rekomendasi tersebut diberikan dengan dasar untuk memperbaiki kondisi internal kepolisian.
Terkait hal tersebut, Badrodin yang saat ini tengah menerima mandat, wewenang dan tugas sebagai Kapolri, mengaku belum menerima rekomendasi tersebut. "Saya tidak tahu, saya belum dapat rekomendasinya," tegasnya.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis memaparkan beberapa hasil investigasi Komnas HAM terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Polri, seperti dikerahkannya sejumlah pasukan yang tidak wajar untuk membawa paksa Bambang ke kantor Bareskrim.
Kemudian, penangkapan Bambang yang juga menyalahi
due process model karena tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Lebih lanjut, penerapan hukum yang penyidik Polri lakukan dalam kasus Bambang juga berpotensi melanggar kebebasan hak sipil, terutama hak para advokat. Alasannya, penggunaan pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengesampingkan keberadaan advokat dalam pemenuhan keadilan seseorang yang disangka melakukan kejahatan.
(meg)