Rekonsiliasi Aceh Dinilai Penting Pulihkan Luka Orde Baru

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Senin, 16 Feb 2015 17:03 WIB
Komnas HAM dan PACTA  melakukan nota kesepahaman mengenai rekonsiliasi Aceh di Gedung Komnas HAM, Jakarta, pada Senin (16/2).
Warga Bireuen mengibarkan bendera Partai Aceh di salah satu Kantor Pemkot Lhoksumawe, Aceh, Selasa 02 April 2013. (Detik Foto/Feri Fernandes)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rekonsiliasi Aceh dinilai penting untuk memulihkan luka lama masyarakat Aceh pascakonflik, terutama di era Orde Baru. Oleh karena itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan PACTA (Peace Architecture and Conflict Transformation Alliance) melakukan nota kesepahaman mengenai rekonsiliasi Aceh, pada Senin (16/2) di Jakarta.

Salah satu pendiri PACTA, Juha Christensen, mengatakan rekonsiliasi di Aceh semestinya menjadi fokus baik bagi pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat di Indonesia.

"PACTA sendiri membantu dengan menuangkan pikiran serta konsep untuk rekonsiliasi masyarakat Aceh pascakonflik," kata Juha kepada CNN Indonesia, Senin (16/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai situasi di Aceh sendiri, Juha menilai kini cukup stabil. Menurutnya, meski masih terdapat pergesekan secara politik seperti saat Pilkada lalu, hal tersebut terjadi di setiap tempat di dunia.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas mengatakan rekonsiliasi penting bagi Aceh untuk memulihkan luka lama masyarakat Aceh pascakonflik, terutama di masa Orde Baru.

"Bisa saja timbul dendam di diri anak yang ayahnya ditembak TNI. Kami tidak ingin lagi ada dendam masa lalu," ujar Hafid.

Hafid mengatakan pada masa Orde Baru sebanyak empat orang Aceh meninggal setiap harinya. Komnas HAM juga memperkirakan sekitar 50 ribu warga Aceh meninggal dunia saat konflik Orde Baru, baik itu dari kalangan TNI, polisi, serta masyarakat sipil. Konflik tersebut selain meninggalkan bekas trauma dalam warga Aceh juga meluluhlantakkan geliat perekonomian di provinsi yang dikenal sebagai 'Serambi Mekkah' tersebut.

Bangun Ekonomi Melalui Rekonsiliasi

Hafid dan Juha kemudian berpendapat perlu adanya rekonsiliasi bila ingin membangun kembali perekonomian Aceh. Tanpa perdamaian di tengah masyarakat Aceh, pertumbuhan ekonomi dinilai akan sulit terjadi.

Selain konflik, tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 dinilai telah memorak-porandakan perekonomian provinsi tersebut. "Tsunami menyebabkan sekitar 200 ribu orang Aceh meninggal serta sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Bukan hanya jatuh korban, tetapi infrastruktur pun hancur," kata Hafid. Diperkirakan kerugian Aceh karena tsunami mencapai US$ 7 miliar.

Sementara, pada masa konflik GAM, Aceh diperkirakan mengalami kerugian sebesar 5 hingga 6 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Aceh. "Pada tahun 1999, konflik kerugiannya diperkirakan 10,1 persen dari total PDB Aceh. Kerugiannya dalam setahun sekitar Rp 500 miliar dari Rp 5,2 triliun GDP Aceh. Bayangkan, ini berjalan selama 30 tahun," kata Hafid.

"Ekonomi Aceh belum tumbuh dengan target yang diharapkan. Menko Perekonomian bilang pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5 persen di seluruh Indonesia. Sementara itu, di Aceh masih sangat rendah, yaitu sekitar 2,3 persen," kata Juha. Investor yang belum percaya melakukan investasi di Aceh pun menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Hafid menilai Aceh butuh tiga faktor untuk memajukan lagi wilayahnya, yaitu penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan dan perdamaian. "Kalau tidak damai, bangunan bisa dirusak lagi, jembatan bisa dirubuhkan. Orang juga tidak bisa damai kalau tidak ada listrik, air bersih, dan sekolah," katanya.

Untuk mewujudkan tiga faktor itu, Juha berpendapat perlu adanya pendekatan kepada tokoh masyarakat di Aceh. "Gubernur Aceh Zaini Abdullah merupakan salah satu pendiri GAM. Namun, ia juga terlibat dalam nota kesepahaman Helsinki. Sayang kalau tidak bisa mulai proses rekonsiliasi saat ia duduki posisi formal," kata Juha. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER