Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Human Right Working Group, Rafendi Djamin, mendesak pemerintah untuk menjamin akuntabilitas peradilan dan pelaksanaan eksekusi mati. Pasalnya, mekanisme peradilan sejak pemeriksaan, penahanan, penuntutan, vonis, dan pemidanaan dinilai tak mengedepankan hak-hak dari tiap orang yang diancam hukuman mati.
"Pelanggaran HAM terjadi ketika
fair trial tidak bisa dilakukan negara," ujar Rafendi saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (17/2).
Rafendi menyayangkan selama ini tak ada laporan evaluasi mendetil ihwal proses eksekusi mati sejak peradilan, baik dari Kejaksaan Agung selaku eksekutor, mahkamah pengadil hingga Presiden Joko Widodo. Padahal, terpidana mati berpotensi untuk menerima proses penyiksaan saat menjalani peradilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada juga disampaikan oleh Anggara, peneliti Institue for Criminal and Justice Reform (ICJR). Menurutnya, penerapan standar peradilan untuk terpidana mati masih rendah.
"Misalnya terpidana tidak boleh berkomunikasi dengan siapa pun setelah penangkapan. Apapun bisa digoreng dan bisa terjadi dalam permasalahan itu," tuturnya.
Selain itu, lanjut Anggara, orang yang terancam hukuman mati harus didampingi oleh pengacara yang berkualitas dan kompeten. "Jangan sampai pengacara bisnis mendampingi terpidana mati," katanya.
Berdasarkan pengamatan Anggara, pendampingan pengacara untuk kasus narkoba banyak ditemukan setelah berkas perkara masuk ke pengadilan. Padahal, saat pemeriksaan seharusnya seorang tersangka sudah didampingi pengacara. Alhasil, keraguan ihwal prinsip peradilan yang adil untuk melihat proses dari penyidikan sampai putusan pun muncul.
Anggara menambahkan, kasus narkoba yang selama ini berhasil diungkap baru sebatas level kurir. Sementara itu, aktor utama sindikat peredaran narkoba justru luput dari hukum. "Kalau mereka kurir, bukannya baik untuk dijadikan justice collabolator atau whistleblower untuk mengungkap bisnis narkotika?" tuturnya.
Ia pun mencontohkan dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang kini masuk dalam daftar eksekusi mati gelombang kedua. Rencana eksekusi mati keduanya, menurut Anggara, menunjukan pemerintah Indonesia tidak serius mengungkap sindikat narkoba.
"Mereka hanya kurir dan bukan pengedar kelas kakap. Mereka diperintah oleh seorang Indonesia dan Australia yang tidak terungkap," ujarnya.
Alih HukumanBaik Rafendi maupun Anggara berpendapat, seseorang yang divonis mati seharusnya menjalani hukuman percobaan selama 10 tahun dan status hukumannya bisa diperingan menjadi penjara seumur hidup jika berkelakuan baik. Penghukuman model ini dinilai tidak melanggar hak asasi manusia ketimbang harus mencabut nyawa seseorang.
"Kita tidak bisa membunuh satu nyawa untuk menyelamatkan nyawa orang lainnya," ucap Rafendi.
Anggara menyebutkan Andrew dan Myuran laik mendapatkan keringanan hukuman mengingat keduanya telah menjalani hukuman di atas 10 tahun. Kasus serupa juga terjadi pada beberapa terpidana lainnya.
"Mestinya bisa dilihat apa yang terjadi buat orang-orang yang mau dieksekusi mati. Mereka sudah 10 tahun berubah, membantu Lapas kenapa tetap dieksekusi?" ucap Anggara.
Anggara pun mengkritik sikap Presiden Joko Widodo yang terkesan mencampuradukkan semua perkara dalam pertimbangan pemberian keringanan hukuman atau grasi. "Jangan langsung di awal bilang akan menolak grasi terpidana mati, seakan-akan mencampuradukkan semua kasus hukuman mati," ujar Anggara.
Oleh karena itu, pengkajian dokumen dan berkas perkara tiap kasus perlu dilakukan untuk menentukan apakah seseorang pantas mendapatkan keringanan hukuman. "Jokowi tidak melakukan itu," ujarnya.
Lebih lanjut, Human Right Working Group dan ICJR mendesak agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan revisi KUHP. Pasalnya, klausul mengenai keringanan hukuman bagi terpidana mati telah masuk dalam draft revisi KUHP.
Merujuk Pasal 89 Rancangan KUHP, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan ada alasan yang meringankan. Lebih jauh, jika menunjukkan perubahan sikap maka hukuman dapat diganti pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Kemudian Pasal 90 Rancangan KUHP memungkinkan adanya pengalihan pidana menjadi penjara seumur hidup apabila grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi enam terpidana mati pada Minggu lalu (18/1). Lima di antaranya warga negara asing dan seorang warga Indonesia. Bulan ini, 11 terpidana mati lainnya siap dieksusi terdiri dari delapan terpidana narkoba dan tiga kasus lainnya. Dua di antaranya merupakan warga Austalia sekaligus anggota sindikat narkoba Bali Nine. Rencananya, para terpidana mati akan dipindahkan ke Lapas di Pulau Nusakambangan menjelang pelaksanaan eksekusi.
(obs)