Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo menarik Duta Besar Indonesia di Brazil, Toto Riyanto, sebagai bentuk penegasan Indonesia bahwa negara lain harus menghormati prosedur hukum di Indonesia, terkait reaksi negara-negara asal terpidana mati kasus narkotika yang akan dieksekusi dalam waktu dekat.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mendapat mandat untuk mengontak Toto di Brazil, tepat satu jam setelah Menteri Luar Negeri Brazil mengumumkan penundaan penyerahan
credentials (surat kepercayaan kepada Duta Besar) Indonesia.
"Satu jam setelah penundaan penyerahan
credentials yang dilakukan Menlu Brasil itu, Presiden minta saya telepon dubes kita (Indonesia) di sana untuk pulang," kata JK di Kantor Wapres, Senin (23/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JK menjelaskan, perkara eksekusi mati merupakan salah satu hukum yang berjalan di Indonesia yang dibuat berdasarkan keputusan Mahkamah, sehingga pemerintah sekalipun Presiden tidak mampu mengintervensi.
Menurut JK, hukuman mati yang dijalankan oleh Indonesia tidak berbeda dengan hukuman mati yang dijalankan di negara lain seperti Malaysia dan Amerika Serikat.
"Jadi, kalau dikatakan salah (hukuman mati), harusnya bukan kita saja yang salah ?" kata JK.
Seperti diketahui, Kementerian Luar Negeri resmi menarik Duta Besar Indonesia untuk Brazil, Toto Riyanto pada 20 Februari 2015, tepatnya pada pukul 22. 00 WIB.
"Cara penundaan penyerahan
credentials yang dilakukan Menlu Brasil secara tiba-tiba pada saat Dubes RI berada di Istana Presiden Brazil, merupakan suatu tindakan yang tidak dapat diterima oleh Indonesia," bunyi keterangan tertulis Kementrian Luar Negeri Indonesia pada media, Jumat (20/2).
Penundaan ini merupakan salah satu cara Brazil memprotes pemerintahan Indonesia, yang tetap menghukum mati warga negaranya yang terbukti melakukan peredaran narkotika. Warga Brazil yang akan dieksekusi dalam waktu dekat ialah Rodrigo Gularie.
(meg)