Jakarta, CNN Indonesia -- Abraham Samad membenamkan kaca matanya yang melorot hampir menyentuh ujung hidung. Tangan kirinya menopang rahang dengan siku bersangga di atas meja kayu berwarna putih. Meja sepanjang dua meter itu dikelilingi delapan kursi hitam. Samad duduk seorang diri.
Sorot mata Samad tajam menelusuri baris-baris kata pada mukadimah buku putih yang ada di hadapannya. Buku yang mengupas pemahaman soal korupsi itu tebalnya melebihi tiga tumpukan bungkus rokok. Samad sesekali berkerut kening sambil menggigit ujung jari kelingking. Di ruangan seluas 15x5 meter, Samad menenggelamkan diri dalam kesenyapan.
Hanya terdengar dengungan kecil pendingin di ruangan berisi deretan rak buku itu. Sayup obrolan orang-orang yang berlalu-lalang di luar ruangan tidak lebih jelas dari suara gesekan lembar kertas pada halaman buku yang dibolak-balik oleh Samad.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisioner nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi itu sengap, seperti kata-kata yang bersemayam di balik ratusan buku yang mengelilinginya. Di ruang perpustakaan Gedung KPK itu, Samad asyik merajut janji yang terlantar.
"Ada hutang yang belum dibayar. Saya belum kesampaian bikin buku dari hasil disertasi," ujar Samad memecah kesunyian kepada CNN Indonesia, Kamis (5/2).
Hari itu Samad baru saja kembali dari kampung halamannya, Makassar, Sulawesi Selatan. Dia memanfaatkan waktu untuk beristirahat setelah sempat mengalami sakit mag pada hari pertama pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen di Kepolisian Daerah Sulselbar, Selasa (24/2).
Sakit mag itu dialami Samad saat berada dalam perjalanan menuju Makassar. "Bagian di dalam perut saya terasa melilit ketika pesawat mengalami turbulensi. Saya coba tetap jalani pemeriksaan, tapi akhirnya tidak bisa bertahan," ujar Samad.
Sejak jadi tersangka dan jabatannya dinonaktifkan, praktis Samad tak punya wewenang dalam mengurusi birokrasi lembaga yang sempat dipimpin olehnya. Membukukan ceceran tulisan pada akhirnya menjadi semacam hiburan untuk membunuh waktu dalam ketidakpastian perkara yang menjeratnya.
Meski tetap bisa berseri, roman wajahnya tak bisa menututupi rasa lelah. Tapi semangat pemberantasan korupsi itu jelas masih ada. Sebab pemikiran dalam disertasi Samad kelak akan tertuang dalam buku yang juga menyinggung soal rasuah.
Lantas di tengah obrolan yang terbata-bata, pintu yang menghubungkan ruangan kecil di ujung ruangan terbuka. Komisioner nonaktif Bambang Widjojanto muncul dengan menenteng laptop yang masih menyala laiknya menenteng nampan.
Dia mencari-cari petugas perpustakaan untuk mencetak hasil ketikannya di lapotop. Seperti juga Samad, Bambang pun meluangkan waktunya untuk menulis. Bedanya, Bambang kala itu menulis untuk keperluan orasi budaya soal anti korupsi yang bakal dia bacakan malam harinya di Taman Ismail Marzuki.
Berbeda dengan Samad, Bambang lebih semringah. "
Pak Abraham Samad itu orangnya pemikir, kalau saya mengalir sajaBambang Widjojanto,. Komisioner non aktif KPK |
," ujar Bambang menyela pembicaraan sambil menggumamkan lagu yang tidak jelas. Samad sontak tertawa lepas mendengar candaan koleganya.
Lembaran kertaspun dicetak dari mesin cetak. Orasi budaya yang baru ditulis Bambang itu berjudul "Darurat Korupsi: Anatomi Korupsi dan Biaya Sosial yang Mahal". Selama obrolan bersama Samad, Bambang rupanya berkutat menulis persiapan orasinya di balik ruangan yang terhalang rak dan dinding.
Ruangan kecil seukuran 2x3 meter itu menjadi tempat favorit Bambang menyendiri mengurusi tulisan atau persiapan pertemuan dan undangan acara. Alih-alih menempati ruangan baru yang letaknya tak jauh dari perpustakaan di lantai dua Gedung KPK, Bambang memilih ruangan kecil itu lantaran suasananya lebih tenang.
Perpustakaan itu pula yang menjadi tempat bertemu Samad dan Bambang. Di sana mereka bercengkerama tentang apa saja. Mulai dari urusan remeh-temeh hingga obrolan perkara yang kini menjerat mereka.
(utd)