Gugat Keppres, Gembong Narkoba Sylvester Menanti Sidang

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Selasa, 10 Mar 2015 11:55 WIB
Menurut kuasa hukum Sylvester, Farhat Abbas, pihak pengadilan mesti membuktikan apakah benar kliennya terlibat dengan jaringan Tiongkok dan Papua Nugini.
Sebanyak 10 orang terpidana mati menunggu keputusan pemerintah atas pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua yang rencananya diadakan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gembong narkoba sekaligus terpidana mati Sylvester Obiekwe alias Mustofa menggugat Keputusan Presiden Joko Widodo yang menolak permohonan grasinya. Saat ini, pria asal Nigeria tersebut tengah menanti jadwal sidang.

"Jadwalnya belum tahu, mungkin minggu depan. Pemberitahuan gugatan sudah diberikan ke Presiden dan Kejaksaan Agung, tanggal 6 Maret," ujar kuasa hukum Sylvester, Farhat Abbas, ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (10/3). Keppres Nomor 11/G/2015 yang keluar tanggal 5 Februari tersebut, digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 5 Maret lalu.

"Keppres yang dikeluarkan Presiden dasarnya surat permohonan dari pengacara sebelumnya. Pengacara itu sudah dicabut surat kuasanya, tapi masih diproses grasinya," ujar Farhat menjelaskan alasannya menggugat Keppres tersebut. Menurutnya, apabila pengacara terdahulu tidak lagi memiliki kuasa hukum atas kliennya, maka seharusnya permohonan grasi tak dapat diproses.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seharusnya ada permintaan agar permononan grasi ulang dulu, baru diproses lagi," ujar Farhat. Dengan demikian, ia menjelaskan, pihak Kejaksaan Agung tak bisa segera memproses eksekusi mati kliennya.

Merujuk catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sylvester ditangkap pada 2004. Saat itu ia menyelundupkan barang haram berupa heroin sebanyak 1,2 kilogram ke Indonesia. Atas tindakan tersebut, ia dijerat hukuman mati.

Desak Pembuktian Sindikat Internasional

Farhat mendesak sejumlah pihak untuk membuktikan kliennya dalam tuduhan sindikat narkoba internasional yang sempat menggema awal tahun ini.

"Kalau dia dituduh berkaitan dengan jaringan Tiongkok dan Papua Nugini, kami minta agar prosesnya disidik dan sidangkan. Jangan dijadikan alasan mempercepat eksekusi mati dan kaitannya dia mengulangi perbuatannya," ujar Farhat.

Menurutnya, tuduhan tanpa pembuktian justru dapat melanggar HAM bagi kliennya. "Harusnya prosesnya diurus seperti yang lain. BNN menyidik, jaksa menuntut dan memproses di pengadilan. Dibuktikan apakah benar seperti itu di proses pengadilan sampai dengan grasi," katanya.

Pada 2012 lalu, petugas BNN membongkar sebuah praktik penyelundupan sabu 2,4 kilogram dari Papua Nugini. Kala itu, seorang kurir dibekuk aparat. Setelah melalui pemeriksaan panjang, nama Sylvester disebut sebagai otak.

Dua tahun berselang, meski mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu Nusakbangan, Sylvester kembali terbukti sebagai otak penyelundupan 6,5 kg sabu-sabu di Tanjung Perak, Surabaya.

Kasus lainnya, nama Silvester disebut juga berdasar pengakuan dari seorang kurir perempuan yang membawa Sabu seberat 7.622 gram. Sabu tersebut merupakan kristal asal Tiongkok. Penangkapan kurir tersebut terkait dengan transaksi narkoba di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Saat itu, aparat mencari seorang bernama Dewi. Dari mulut Dewi ia menyebut satu nama lain yang ternyata adalah anak buah Sylvester. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER