Soal Inpres Korupsi, Penindakan Koruptor Tetap Penting

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Senin, 16 Mar 2015 06:38 WIB
Kasus korupsi yang sudah disidik tidak bisa diberantas dengan pencegahan karena sudah terjadi.
Presiden Joko Widodo ketika menerima seluruh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Istana Merdeka, Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (27/2). CNNIndonesia/Resty Armenia
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mengkritisi rancangan Instruksi Presiden soal Pemberantasan Korupsi yang menekankan pada pencegahan korupsi dibanding penindakan koruptor. Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan mekanisme pemberantasan korupsi melalui penindakan.

"Sesuai United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 70 persen memang pencegahan dan 30 persen penindakan. Tapi itu masih sulit. Lihat porsi di negaranya apakah penindakan sudah cukup. Kita lihat di sini, kita masih butuh penindakan," ujarnya saat ditemui dalam sebuah diskusi di bilangan Senayan, Jakarta, Minggu (15/3).

Menurutnya, tanpa mengerdilkan pencegahan, penindakan merupakan salah satu langkah tepat untuk menuntaskan kasus korupsi yang telah menggantung beberapa tahun. "Korupsi yang sudah disidik, diperiksa, kan tidak bisa diberantas dengan pencegahan karena sudah terjadi," ucapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sederetan kasus yang terkatung-katung antara lain kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Bank Indonesia kepada Bank Century dikeluarkan pada 2008.

Dengan demikian, ia menuturkan perlunya ada koordinasi dan sinergi antara lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  Kepolisian, dan Kejaksaan. "Misalnya ada korupsi yang di kepolisian, harusnya kepolisian itu senang kalau kasusnya ditangani KPK, karena tidak ada conflict of interest," ujarnya.

Namun faktanya, Yenti mengeluhkan adanya upaya pelemahan pada mekanisme penindakan, selain melalui Inpres. "Kasus BG (Budi Gunawan) sudah dilimpahkan, karena KPK  tidak bisa berhentikan penyidikan. Tapi, bukan cuma menghentikan, itu sudah pelemahan kepada penindakan," tuturnya.

Mengamini Yenti, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua menilai penindakan masih diperlukan ketimbang pencegahan. Hal tersebut untuk memberangus dan memberikan efek jera pada para koruptor.

Kendati demikian, Abdullah menegaskan instruksi presiden tersebut tak akan berlaku untuk KPK. Padalnya, komisi antirasuah tersebut merupakan lembaga ngara yang independen di luar pemerintah.

"Kalau untuk reformasi birokrasi bagus saja. KPK sudah coba reformasi dari 2005, tapi cuma tiga kementerian. KPK melakukan monitoring  sistem lembaga negara. Kalau ada yang mengarah ke situasi kondusif korupsi, maka akan dilaporkan," ujarnya.

Abdullah melanjutkan, KPK pernah menerapkan fungsi monitoring pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Saya ingat yang kami lakukan adalah memberikam rekomendasi ke BPN. Itu problem betul, para penyimpan dana luar (investor asing) cabut karena sulitnya masalah tanah," katanya.

Sementara itu, menanggapi wacana instruksi presiden dan mekanisme pemberantasan korupsi, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta AM Fatwa tetap bersikeras perlunya aspek pencegahan. "KPK tanpa meninggalkan tugas dan wewenang penindakan, harus banyak fokus ke pencegahan beserta monitoring dan memberikan saran sistem ke semua lembaga pemerintahan," ujar Fatwa.

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang pemberantasan korupsi akan segera terbit. Untuk tahun 2015 ini, sebut Andi, penekanan pemberantasan korupsi terletak pada tahapan pencegahan.

Pemerintah membuat sistem yang memungkinkan agar instansi-instansi penegak hukum bisa secara cepat mengindentifikasi kemungkinan-kemungkinan pelanggaran administrasi atau kemungkinan-kemungkinan intensi atau kesengajaan dalam menggunakan keuangan negara secara tidak benar. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER