Mereka yang Tak Gentar Melawan Jokowi Jelang Eksekusi Mati

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 25 Mar 2015 10:07 WIB
Kuasa hukum dari terpidana mati 'Bali Nine', Leonard Arpan Aritonang mengatakan kliennya tak gentar memperjuangkan haknya dalam hukum.
Anggota keluarga Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, menaiki perau compreng saat melakukan kunjungan kedua, di dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng, Rabu (11/3). (AntaraFoto/Idhad Zakaria)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan akan mengeksekusi sepuluh terpidana mati secara bersamaan. Tentunya, setelah upaya hukum terpidana mati rampung. Sikap Prasetyo melunak setelah terpidana mati beramai-ramai mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Setidaknya, empat dari sepuluh terpidana menjajal perlawanan hukum tersebut. Upaya banding diajukan pasca PTUN menolak gugatan pertama para terpidana soal penolakan grasi dalam Keputusan Presiden Joko Widodo. Rupanya, saat itu pengadilan memihak pada Jokowi yang dinilai memiliki perisai 'hak prerogatif' untuk tak memberi ampun para gembong. (Baca juga: Detik-detik Maut Lima Terpidana di Depan Regu Tembak)


Adalah duo "Bali Nine" Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang memprakarsai gugatan Keputusan Presiden soal penolakan grasi. Kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis dan Leonard Arpan Aritonang, jeli menemukan celah hukum dalam Pasal 62 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Berdasar penelusuran CNN Indonesia, pasal tersebut membuka ruang perlawanan atas penetapan PTUN.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chan dan Sukumaran tak gentar memperjuangkan haknya dalam hukum. Keputusan Presiden Nomor 32/G tahun 2014 untuk Myuran dan Keputusan Presiden No 9/G tahun 2015 tertanggal 17 Januari 2015 untuk Andrew Chan, tegas menolak grasi untuk keduanya. Satu hal yang mereka gugat adalah kenapa Jokowi tak menjelaskan alasan penolakan grasi.

Kepada CNN Indonesia, Leonard bercerita ihwal upaya hukum tersebut. "Hari ini, sidang pengajuan bukti dari kuasa hukum di PTUN Jakarta Timur," ujarnya ketika dihubungi Selasa (24/3). Bukti tersebut dapat berupa saksi fakta, saksi ahli, atau dokumen. Jalan hukum pun masih panjang. Setidaknya, ada tiga kali sidang menanti.

Chan dan Sukumaran diciduk kepolisian pada 2004 karena terbukti menyelendupkan lebih dari delapan kilogram heroin. Keduanya divonis hukuman mati pada 2005 dan mendekam di penjara. Saat ini, keduanya telah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Besi di Nusakambangan. (baca juga: Nusakambangan Siap Terima 10 Terpidana Mati untuk Dieksekusi)

Chan dan Sukumaran mengilhami terpidana lainnya untuk melakukan upaya sama. Raheem Agbaje Salami asal Nigeria mencoba peruntungan. "Tanggal 31 Maret sidang di PTUN Jakarta Timur. Kami akan tetap mencoba seluruh proses yudisial. Sama seperti Chan dan Sukumaran," ujar kuasa hukum Raheem, Utomo Karim, kepada CNN Indonesia.

Utomo geram lantaran PTUN menolak gugatan pertama sebelum masuk ke pokok perkara. "Padahal tergugat (Presiden) belum menerima gugatan dan membacanya," kata Utomo. Persis seperti rekan senasibnya, Raheem menggugat presiden soal rasionalisasi penolakan grasi.

Raheem ditangkap lantaran menyelundupkan heroin seberat 5 kilogram pada tahun 1999. Setelah diadili pada tingkat pertama, ia divonis penjara seumur hidup. Kemudian, Raheem mengajukan banding. Oleh majelis hakim pengadilan tinggi, hukuman Raheem diringankan menjadi penjara selama 20 tahun.

Namun, Raheem ngotot mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim Agung justru memperberat hukuman Raheem menjadi vonis mati. Tak terima, Raheem mengajukan PK. Upayanya mencari keadilan kandas. Ia tetap diganjar hukuman mati. Raheem juga berupaya mengajukan ampunan permohonan ke Presiden. Namun, grasinya ditolak.

Setali tiga uang, kawan satu negara Raheem, Sylvester Obiekwe alias Mustofa turut menggugat Jokowi. Selasa (24/3), ia mendaftarkan perlawanan atas penetapan PTUN. Kuasa hukumnya, Farhat Abbas, mengaku ada kesalahan prosedur dalam penolakan grasi.

"Sudah daftar untuk perlawanan, tapi bukan kita minta Kepres dibatalkan, tapi hanya prosedurnya," ujar Farhat kepada CNN Indonesia. Menurutnya, Keputusan Presiden dibuat berdasar pengajuan grasi pengacara terdahulu. Padahal, pengacara tersebut tak lagi memiliki kuasa hukum atas kliennya.

Merujuk catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sylvester ditangkap pada 2004. Saat itu ia menyelundupkan barang haram berupa heroin sebanyak 1,2 kilogram ke Indonesia.

Perlawanan ini, disebut sebagai senjata pamungkas para terpidana mati. Kepastian hukum dari pengadilan dinanti, sembari menunggu eksekusi di Pulau Nusakambangan. "Semoga ada jalan cerah," ujar Leonard.

(utd/sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER