Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, Johnson Panjaitan, menilai tindakan KPK dalam merumuskan bukti permulaan di tahap penyelidikan perkara yang menjerat kliennya menyalahi aturan. Karena, KPK tak berkoordinasi dengan otoritas Arab Saudi saat menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013.
"Dia (penyelidik KPK) tadi sudah mengakui, kalau dia tidak mengaku (berasal) dari KPK. Lalu hasil penyelidikannya itu dibawa ke Indonesia dan diformulasikan kemudian diakui sebagai produk pro-justicia. Itu menyalahi aturan," ujar Johnson usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/4).
Dalam persidangan hari keempat perkara permohonan praperadilan Suryadharma, KPK menghadirkan seorang penyelidik bernama Sugiarto. Pria yang telah bertugas di KPK sejak 2005 ini kemudian mengaku pergi ke Arab Saudi selama 15 hari untuk melakukan penyelidikan dengan mencari peristiwa tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan Suryadharma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga:
Perhitungan Kerugian Negara Kasus SDA dari Laporan Kemenag"Seingat saya visa yang kami dapatkan tidak pernah lebih dari 15 hari. Waktu perjalanan dua hari pulang dan pergi. Jadi efektif bekerja (di sana) kira-kira 10 hari," ujar Sugiarto di hadapan hakim tunggal Teti Herdianti.
Lebih lanjut Sugiarto menjelaskan bahwa salah satu tugas utama dirinya di Arab Saudi adalah meminta keterangan kepada sejumlah WNI di sana, termasuk pekerja musiman yang biasa bekerja saat ibadah haji berlangsung, untuk kemudian dijadikan alat bukti permulaan terkait kasus Suryadharma.
Dalam permintaan keterangan tersebut, Sugiarto mengaku memberitahukan identitas dirinya sebagai penyelidik KPK hanya kepada WNI.
Sementara kepada warga Arab Saudi, Sugiarto mengaku sebagai tim yang melakukan audit di Indonesia. "Karena kalau di sana, orang tidak tahu apa itu KPK," ujar Sugiarto menegaskan.
Menanggapi hal ini, kuasa hukum Suryadharma mempertanyakan legalitas KPK dalam melakukan wawancara tanpa memberitahukan identitas tersebut.
"Apa Saudara melakukan koordinasi dengan otoritas Arab Saudi untuk melakukan wawancara tersebut?" ujar Johnson, bertanya.
Sugiarto pun menjawab, "Kami tidak berbicara dengan otoritas hukum di sana (Arab Saudi) tetapi kami berkoordinasi dengan pejabat Indonesia yang ada di sana."
Menurut Sugiarto, laporan wawancara di Arab Saudi tidak dimasukkan ke dalam Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK). Laporan hanya berbentuk rekaman saja, mengingat tempat wawancara yang berada di luar teritori Indonesia.
Laporan rekaman ini bersama dengan BAPK dan juga dokumen yang telah diverifikasi menjadi pertimbangan pimpinan KPK dalam gelar perkara untuk menentukan, apakah perkara akan dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan atau tidak.
Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Mei 2014 atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Ketika itu, Suryadharma masih menjabat sebagai Menteri Agama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu disangka melanggar pasal pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana juncto pasal 65 KUHPidana.
(adt)