Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat keberatan bila terpidana mati kasus narkoba mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang kedua. Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Sudding menyatakan, dengan sudah keluarnya kasasi dan PK maka sudah sangat cukup untuk dilakukan eksekusi terhadap terpidana mati.
Sarifuddin mengatakan, ada upaya untuk mengulur waktu eksekusi dari pihak terpidana mati kasus narkoba dengan ingin mengajukan PK lagi. “Jangan ada PK di atas PK, tak perlu mengajukan PK lagi,” ucap Sarifuddin saat dihubungi CNN Indonesia, Ahad malam (26/4).
Dua terpidana mati perkara narkoba yaitu Rodrigo Gularte asal Brasil, dan Mary Jane Fiesta Veloso asal Filipina menyatakan bakal mengajukan PK kedua. Adapun satu terpidana mati kasus yang sama asal Perancis, Serge Areski Atlaoui, terhindar dari daftar eksekusi tahap kedua yang rencananya digelar Selasa (28/4) besok karena mengajukan gugatan atas penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Kamis (23/4). (Baca:
Serge Lolos Eksekusi Mati, Keluarga Masih di Nusakambangan)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sarifuddin menggarisbawahi bahwa dengan adanya pengajuan PK kedua maka menghambat eksekusi yang seharusnya sudah bisa dilakukan. “Di mana ada kepastian hukumnya kalau seperti itu, PK cukup satu kali,” ujar Sarifuddin dengan tegas.
Ketua DPP Partai Hanura itu menyoroti eksekusi terhadap para terpidana mati selama ini sudah cukup lama tertunda sehingga pelaksanaan eksekusi mati harus segera dilakukan. “PK jangan sampai menghambat eksekusi,” kata Sarifuddin.
Sarifuddin mengingatkan, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang apabila sudah dilakukan tidak perlu diajukan kembali. “PK itu suatu kelonggaran, sebenarnya kasasi sudah cukup untuk melakukan eksekusi,” tutur Sarifuddin yang menyangsikan adanya novum atau bukti baru dalam pengajuan PK yang kedua.
Sarifuddin, yang pernah duduk di Majelis Pertimbangan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) Pusat ini mengatakan, adanya pengajuan PK kedua memang dimungkinkan dengan berkaca pada perkara bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar.
Sarifuddin menjelaskan, Antasari waktu itu berharap bisa mengajukan PK lagi dan adanya permohonan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar Antasari bisa mengajukan PK untuk kedua kali. “Soal PK yang kedua kali memang debatable.”
Namun menurut Sarifuddin, pengajuan PK yang kedua kali tidak layak dilakukan oleh terpidana mati kasus narkoba karena kasus tersebut adalah kejahatan luar biasa. “Harus diingat kejahatan narkoba telah merusak dan menghancurkan sangat banyak generasi bangsa,” ujar mantan Ketua Fraksi Hanura DPR ini.
Sependapat dengan Sarifuddin, pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia Ganjar Laksmana berpendapat bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang disebutkan jika ada novum maka dapat mengajukan PK.
Ganjar mengatakan, dalam aturan hukum di Indonesia masalah PK memang tidak ada batas waktu pengajuannya dan tidak ada ketentuan berapa kali boleh mengajukannya. “Tapi pada prinsipnya PK itu tidak boleh menghambat eksekusi,” kata Ganjar saat dihubungi CNN Indonesia, Ahad malam (26/4).
Kalau ada hasil PK di PK lagi bisa tidak ada kepastian hukumGanjar Laksmana, pengamat hukum pidana dari UI |
Ganjar juga mencermati pengajuan PK sebagai celah dari pihak terpidana untuk lolos dari jerat hukum atau untuk mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi. “Banyak lah yang seperti itu. Kalau ada hasil PK di PK lagi bisa tidak ada kepastian hukum,” ujarnya.
Ganjar menekankan bahwa sepatutnya PK ditafsirkan hanya satu kali diajukan. “Di sini bukan tidak menghargai kemungkinan adanya bukti baru, kalau misalnya nanti ada kesalahan eksekusi itu tanggung jawab hakim pada Tuhan,” tuturnya.
Dia menambahkan, Kejaksaan Agung hanya bertindak selaku eksekutor yang menjalankan putusan pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana.
(obs)