Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Eksekusi mati gelombang dua sudah dituntaskan, Rabu (29/4) lalu. Delapan terpidana mati kasus narkotik didor anggota satuan Brigade Mobil (Brimob) dari Polres Purwokerto, tak terkecuali Martin Anderson, pemilik 50 gram heroin.
Sebelum dieksekusi, pengacara Anderson, Casmanto Sudra, berkali-kali menyesalkan sistem peradilan di Indonesia yang berkeras menembak mati kliennya hanya karena kedapatan memiliki heroin seberat 50 gram. Casman mengatakan Anderson sangat kecewa dihukum mati gara-gara 50 gram heroin, dia menganggap penegakan hukum di Indonesia tak adil.
Casman kemudian merujuk kasus gembong narkotik Hillary K Chimezie yang kedapatan membawa 5,8 kilogram heroin pada 2003. Hillary saat itu ditangkap di Apartemen Kelapa Gading Tower B, Kamar 2508, Kelapa Gading, jakarta Utara. Penangkapan itu membuat Hillary divonis mati Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, 23 Oktober 2003.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Lihat:
Martin Anderson: Warga Nigeria Pemilik 50 Gram Heroin)
Pengadilan Tinggi Banten dan kasasi oleh Mahkamah Agung memperkuat vonis mati yang diputuskan PN Tangerang. Namun pidana mati itu dianulir menjadi hanya 12 tahun penjara dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) yang dipimpin hakim agung Imron Anwari, Timur Manurung, dan Suwardi.
Putusan PK saat itu disoroti publik karena dianggap janggal. Apalagi, Hakim Agung Suwardi menyatakan
dissenting atas pendapat koleganya, Imron dan Timur. Suwardi saat itu berpendapat agar Hillary tetap dihukum mati, namun kalah oleh pendapat Imron dan Timur.
Vonis PK yang meloloskan Hillary dari eksekusi regu tembak makin terkesan kontroversial setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) kembali mendapati Hillary mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pasir Putih, Nusakambangan, 27 November 2012.
Selain Hillary, BNN saat itu juga menangkap Sylvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa yang juga ditembak mati bersama Andreson, 29 April lalu; Obina Nwajagu; Humphrey Ejike alias Doktor alias Koko; dan Yadi Mulyadi. Selain Hillary, keempatnya merupakan terpidana mati saat itu.
(Baca:
Pemakaman Martin Anderson di Bekasi Hanya Dihadiri 5 Kerabat)
Menurut Casman, fakta ini membuat kesan tak adil dalam vonis mati, apalagi eksekusi sampai dilakukan terhadap terdakwa yang hanya memiliki 50 gram heroin.
Dengan fakta seperti ini, wajar jika sistem peradilan di Indonesia dianggap tak memberikan rasa keadilan. Heroin dengan berat berkilo-kilo hanya dibui 12 tahun sedangkan yang cuma 50 gram harus menghadapi kematian yang ditentuan jaksa eksekutor.
(Baca:
Pukul 00.35 WIB Delapan Terpidana Mati Dieksekusi Regu Tembak)
Dalam hukum positif di Indonesia, pidana mati kejahatan narkotik diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Aturan dalam UU ini menegaskan tentang pemberatan hukuman pidana bagi mereka yang memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan, menjual, membeli, menjadi perantara jual beli, menukar, menyerahkan, dan menerima narkotik untuk golongan tertentu.
Terdapat tiga golongan yang diatur dalam UU Narkotik yaitu 65 jenis narkotik golongan pertama, termasuk heroin, ganja, daun koka, dan kokain. Narkotik golongan II sebanyak 86 jenis, termasuk morfin; serta barang haram golongan III sebanyak 14 jenis.
Saat ditangkap di kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, November 2003, Anderson kedapatan memiliki narkotik golongan I yaitu heroin. Dalam UU Narkotik, kepemilikan narkoba jenis heroin akan diganjar pidana mati sebagai hukuman maksimal.
(Baca:
Warga Nigeria Pemilik 50 Gram Heroin Menghadapi Regu Tembak)
Pasal 113 ayat 2 UU Narkotik menjelaskan, dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Pasal 114 ayat 2 menegaskan hal yang sama bahwa bagi yang menawarkan, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli narkotik golongan I melebihi 5 gram, akan dikenakan vonis mati, penjara seumur hidup, atau paling singkat enam tahun.
Merujuk pada UU Narkotik tersebut, vonis mati bagi Anderson maupun Hillary memang dapat dijatuhkan dengan kepemilikan barang bukti keduanya lebih dari 5 gram. Namun Anderson dan pengacaranya memang layak kecewa atas putusan PK terhadap Hillary.
Menilik kasus Anderson dan Hillary, tak heran jika publik semakin mempertanyakan independensi hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Soalnya, masih ada yang tanya yang tak terjawab tentang bukti, dan fakta apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memvonis seorang terdakwa, dan apa yang membuat putusan itu berbeda.