Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Anti Mafia Hutan mendesak agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera membatalkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). UU ini dinilai menjadi dasar untuk melanggengkan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal yang tidak bersalah.
Pada September 2014, Tim Advokasi Anti Mafia Hutan mewakili petani, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil telah mengajukan uji konstitusionalitas atas UU P3H ke MK. Terhadap permohonan ini, MK telah melakukan serangkaian persidangan, tetapi sampai kini belum juga memutus perkara tersebut.
"Hal ini mengakibatkan potensi kriminalisasi petani dan masyarakat sekitar hutan semakin tinggi," kata advokat dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien saat konferensi pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jalan Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (7/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur Satyahaprabu menyatakan ada 14 pasal dalam UU tersebut yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal yang tidak bersalah. "Karena banyak sekali pasal yang bisa digunakan untuk kriminalisasi, maka kami menilai sebaiknya UU P3H dibatalkan saja," kata Muhnur.
(Baca Juga: KontraS Bakal Laporkan Polisi Soal Dugaan Rekayasa Perkara)Menurut Andi dan Muhnur, pemerintah seharusnya menjerat korporasi yang secara jelas telah melakukan kejahatan terorganisasi dalam merusak hutan. Namun, nyatanya, menurut Andi, UU P3H malah digunakan untuk menangkap individu-individu yang tidak tahu hukum dan hanya melakukan kesalahan yang tidak disengaja.
"Kalau lihat indikatornya, tentu saja perkara yang dihadapi petani dan orang-orang 'kecil' tersebut tidak masuk dalam tipe kejahatan terorganisasi," kata Andi. Karenanya, UU P3H ini dianggap berbahaya karena dapat sewaktu-waktu digunakan untuk menjerat orang yang tidak bersalah.
Salah satu kasus yang mencuat ke media yaitu kasus Nenek Asiani (63). Asiani harus menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Situbondo karena dituduh PT Perhutani mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur. Pasal yang didakwakan kepadanya adalah pasal 12 huruf d UU P3H.
Pasal 12 huruf d tersebut berbunyi: "Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin."
Akibat tuduhan PT Perhutani tersebut, Nenek Asiani divonis satu tahun dan denda Rp 500 juta susider kurungan satu hari oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur.
(utd)