Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana merekrut personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menjadi pejabat dan pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat response beragam. Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyoroti tiga hal penting yang harus dimiliki personel TNI jika bergabung dengan lembaga antirasuah itu.
Kepada CNN Indonesia Abdullah mengatakan, tiga catatan penting tersebut yaitu personel TNI harus mengikuti kode etik KPK yang termasuk di dalamnya membatasi interaksi dengan pihak lain; harus terbiasa dengan cara berinteraksi yang egaliter; dan mengubah pendekatan intelijen ala TNI menjadi pendekatan yuridis hukum yang selama ini menjadi kiblat KPK.
Abdullah menjelaskan pejabat dan pegawai KPK memiliki keterbatasan dalam berhubungan dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Kode Etik Pegawai dan Pejabat KPK. Merujuk kode etik tersebut, salah satu larangan sebagai pejabat dan pegawai KPK yaitu berhubungan secara langsung dan tidak langsung dengan terdakwa, tersangka, calon tersangka atau pihak lain yang terkait, yang penanganan kasusnya sedang diproses KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Baca:
KPK Rekrut Perwira TNI)
Kode etik itu juga melarang pejabat dan pegawai KPK melakukan kegiatan dengan pihak yang secara langsung atau tidak langsung patut diduga menimbulkan benturan kepentingan dalam menjalankan tugas dan posisi sebagai pegawai KPK.
Catatan lain, lanjut Abdullah, yaitu cara berinteraksi di KPK yang sangat berbeda dengan struktur TNI. Di KPK, tidak ada jarak antara pimpinan dengan pejabat maupun pegawai KPK karena lembaga ini menjalankan pendekatan yang egaliter dalam kegiatan sehari-hari. Sementara di TNI, ada garis komando antara atasan dengan bawahan.
"Siapa pun dia, apakah penyidik atau pegawai, kalau di TNI ada garis komando, dari atas ke bawah ada disiplin komando. Kalau di KPK, sifatnya egaliter antara pimpinan dengan pejabat lain dan pegawai, apakah bisa TNI seperti ini?" kata Abdullah ketika dihubungi, Sabtu (9/5).
(Baca:
TNI: Kami Punya Orang untuk Semua Posisi di KPK)
Suasana egaliter tersebut, kata Abdullah, akan memunculkan culture shock bagi para prajurit maupun pejabat TNI yang direkrut KPK. Ditambah lagi, pejabat stuktural KPK tidak mendapat fasilitas ajudan maupun supir untuk menjalankan tugas sehari-hari.
Di lembaga antirasuah, hanya pimpinan KPK yang mendapat fasilitas berbeda dengan pejabat lain karena termasuk kategori pejabat negara. Pejabat struktural dimaksud termasuk Sekretaris Jenderal KPK yang tidak akan menerima fasilitas supir dan ajudan, hal yang berbeda dengan fasilitas yang didapat pejabat selevel Sekjen di TNI.
(Baca:
Sekjen KPK Tak Masuk Jabatan yang Ditawarkan ke TNI)
"Di TNI mereka biasa dihormati, dibawakan tasnya, memiliki ajudan, yang semua itu akan hilang kalau mereka bergabung dengan KPK. Apakah mereka siap? Apakah siap juga dengan kemungkinan culture shock karena kondisinya sangat jauh berbeda. Kalau siap, silakan saja," tutur Abdullah.
Catatan ketiga Abdullah jika TNI menjadi bagian dari KPK yaitu, mengilangkan kebiasaan menggunakan pendekatan intelijen yang dikenal di institusi TNI. Abudullah menyoroti hal ketiga ini agar tidak menjadi persoalan setelah personel TNI tersebut telah resmi bergabung di KPK setelah mengikuti proses seleksi yang ketat.
"Budaya kerja seperti ini yang harus betul-betul dipikirkan, apakah akan menjadi persoalan di kemudian hari atau tidak, agar KPK tidak dianggap melanggar HAM karena menggunakan pendekatan intelijen itu," ujar Abdullah.
Menurut Abdullah, KPK memang pernah merekrut personel purnawirawan TNI pada tahun 2012 sekitar 20 orang. Mereka ditempatkan sebagai pengawal tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Guntur dan menjadi komandan satuan pengamanan (satpam) KPK. Dari segi kedisiplinan, Abdullah mengakui bahwa personel TNI patut diapresiasi.
"Tapi untuk kode etik, SOP KPK, budaya kerja, dan suasana lain yang berbeda antara TNI dengan KPK, harus bisa disesuaikan," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pimpinan KPK periode 2003-2007 Tumpak Hatorangan Panggabean juga tak menyoalkan jika lembaga antirasuah merekrut personel TNI untuk menjadi pegawai dan pejabat struktural. Wacana ini mencuat setelah Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki menyebut bakal merekrut personel TNI untuk mengisi sejumlah posisi di KPK.
(rdk)