Jakarta, CNN Indonesia -- Para pekerja seks komersial (PSK) kelas atas yang dikelola oleh Robbie Abbas punya tarif yang fantastis. Untuk sekali kencan short time dipatok harga Rp 30 juta sampai Rp 200 juta. Polisi menyebut, Robbie sudah menjalankan bisnisnya selama tiga tahun.
Bisnis protitusi online kelas atas, sebut Guru Besar Psikologi UGM Prof. Koentjoro terbentuk karena dua hal. Pertama, itu berkaitan dengan kemajuan zaman, terutama bagaimana perkembangan teknologi informasi terhadap kehidupan sehari-hari.
“Prostitusi
online itu kan media nya saja yang berbeda, praktiknya sama. Mereka
online karena tidak ada lokalisasi atau tidak mau dilokalisir,” paparnya saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (12/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan
online, para PSK bisa masuk menjajakan diri hingga ruang-ruang privat. Karena daya tembus
online yang luar biasa, kendali kemudian sepenuhnya berada di PSK sendiri atau germo yang mengaturnya.
Caranya dengan selektif memasarkan diri di
online. Makin tinggi kelas PSK, sebut Koentjoro, akan makin eksklusif dalam menjajakan dirinya. (Baca juga:
Polisi: Robbie Tiga Tahun Jadi Germo dan Sulit Ditangkap)
Cara untuk terus menjaga eksklusivitas, sebut pengampu mata kuliah patologi sosial di Fakultas Psikologi UGM ini, akan berkaitan dengan upaya memelihara sensasi bagi para pelanggannya.
Sensasi inilah, terang Koentjoro yang membuat pelanggan rela membayar sangat mahal, terkadang tidak masuk akal, jika memakai layanan PSK kelas atas. “Demi sensasi ini orang rela bayar mahal,” katanya. (Baca juga:
Bongkar Prostitusi Artis, Polisi Gunakan Teknologi Khusus)Sensasi, sebut Koenjoro adalah persoalan perseptual. Persepsi ini terbentuk oleh kondisi sosial dan pengalaman seseorang. Sensasi ini, lanjutnya, juga berkaitan dengan kekhasan sesuatu hal.
Dalam prostitusi
online kelas atas, sensasi itu bisa dibentuk karena para PSK nya adalah mereka-mereka yang secara sosial, dipersepsikan hampir tidak mungkin berprofesi di dunia esek-esek. Atau diperlukan upaya yang besar jika ingin mendapatkan kepuasan ragawi dari mereka.
“Ini membuat misalnya, prostitusi kelas atas tidak semata ukurannya kecantikan. Misalnya PSK kelas atas itu artis, kan tidak semua orang bisa berkencan dengan artis, apalagi artis papan atas," katanya.
Para pelanggannya, kemudian seolah-olah merasakan sensasi yang luar biasa jika berhubungan badan dengan artis itu. Lalu ada rasa bangga jika sudah melakukannya,” lanjut dia. Sensasi inilah, papar Koentjoro, yang selalu dikapitalisasi oleh PSK itu sendiri atau oleh germonya. (Baca juga:
Jusuf Kalla Akui Sering Dapat SMS Berbau Seks)
Perihal artis yang rela menjalani profesi sebagai PSK kelas atas, sebut Koentjoro, karena berkaitan dengan gaya hidup. Menurut dia, gaya hidup artis yang cenderung glamour, memerlukan biaya yang tinggi.
Tidak semua artis, mampu memenuhinya secara materi. Sementara dia dipaksa secara sosial untuk menjaganya. Hal itu karena berkaitan dengan gengsinya sebagai artis sekaligus dengan tarifnya, baik sebagai artis maupun sebagai pekerja seks komersial.
Artis yang menyambi menjadi pekerja seks komersial kelas atas, sebut Koentjoro, umumnya artis-artis yang disebutnya setengah matang, atau karbitan. Artis yang hanya mengandalkan kemolekan tubuh.
Sementara, untuk menjadi artis, selain kemolekan ragawi, papar dia, juga dibutuhkan bakat atau kemampuan yang memadai dalam bidang yang digelutinya.
“Ya untuk menunjang itu, ya mereka jadi pekerja seks komersial. Atau bisa juga, agar cap artis selalu melekat dengan gaya hidup glamour, mereka jadi PSK,” tuturnya. (Baca juga:
Maia Estianty: Prostitusi Artis, Jalan Gelap demi Gaya Hidup)
(hel)