Greenpeace Tantang Jokowi Blusukan Tinjau Proyek PLTU Batang

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Rabu, 13 Mei 2015 06:30 WIB
Menurut Greenpeace masih banyak masalah dalam pembebasan lahan. Lahan seluas 25 hektar belum dibebaskan karena pemilik enggan menjualnya.
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Ibu Negara Ny. Iriana Widodo (kiri) dan Menteri ESDM Sudirman Said (tengah) mendapat penjelasan dari Direktur Utama PLN Nur Pamudji (ketiga kanan) saat kunjungan kerja ke PLTU Lampung 2 X 100 MW di Dusun Sebalang, Desa Tarahan, Lampung, Selasa (25/11). (ANTARA FOTO/Humas PLN/Agus Trimukti)
Batang, CNN Indonesia -- Organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace meminta pemerintah kembali memikirkan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara di Batang, Jawa Tengah. Mereka bahkan mendesak Presiden Joko Widodo turun ke lapangan sebelum memutuskan kelanjutan proyek ini.

"Sebelum Jokowi memutuskan apapun, Jokowi harus ke lokasi untuk melihat langsung warga dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan," ujar juru kampanye Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto di Desa Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (12/5).

Sebelumnya saat meluncurkan Program 35 ribu Mega Watt untuk Indonesia di Pantai Goa Cemara Bantul 4 Mei lalu, Jokowi memerintahkan Direktur PLN, Gubernur Jawa Tengah, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dapat menyelesaikan pembebasan lahan seluas 226 hektar hingga akhir Mei.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini sekitar 25 hektar lahan masih belum terbebaskan lantaran pemilik lahan enggan menjual tanah mereka. "Ada 74 pemilik lahan yang menolak menjual lahan sawah milik mereka," ujar Arif.

Menurut nya pembangunan PLTU dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Batubara sebagai komoditi utama untuk memanaskan air hingga menjadi uap dan menjadi energi listrik, diperkirakan akan menimbulkan sekitar 10,8 juta ton karbon per tahun.

"Emisi ini akan memperburuk perubahan iklim dengan dampak yang buruk serta polusi lokal yang mengancam kesehatan warga dan lingkungan setempat," ujar Arif.

Selain itu, batubara juga merupakan bahan bakar fosil tidak berkelanjutan sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa energi ini tidak akan bertahan lama. Arif memperkirakan tidak menutup kemungkinan Indonesia sebagai negara pengekspor batubara terbesar di dunia akan berubah menjadi negara pengimpor di masa mendatang.

"Cadangan batubara Indonesia tidak besar, hanya tiga persen dari cadangan dunia, itu pun cadangan paling optimistis. Kalau laju pemanfaatan tetap seperti ini, maka perhitungannya 30 tahun ke depan (batubara) akan habis," ujar Arif.

Sejauh ini, Arif bersama Greenpeace mendukung warga yang menolak pembangunan PLTU Batang. Warga ini tersebar di lima desa, terdiri dari empat desa petani, yaitu Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan satu desa nelayan, yaitu Roban.

Warga kelima desa telah melakukan audiensi dengan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, bahkan berangkat ke Jepang untuk menemui anggota Parlemen Jepang dan perwakilan Japan Bank International Cooperation (pemberi dana mayoritas proyek PLTU Batang).

Meski demikian, upaya warga masih belum menemukan titik terang lantaran pemerintah tetap berkeras untuk melanjutkan proyek yang mengancam lahan penghidupan mereka.

Proyek pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, sebenarnya telah digagas di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu proyek MP3EI. Namun dalam proses pembangunan, proyek ini terkendala pembebasan lahan yang belum juga rampung sejak 2011. (Baca juga: Proyek Listrik 35 Ribu MW Jadi Bancakan Jepang dan Tiongkok) (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER