WALHI Minta Jokowi Revisi Inpres Moratorium Hutan

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Senin, 18 Mei 2015 23:59 WIB
Revisi itu berkaitan dengan moratorium Hutan Untuk Rakyat yang semestinya mendapatkan pengecualian.
Pondok peladang terlihat di kawasan hutan lindung Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Kerinci, Jambi, Rabu (13/5). Data Dinas Kehutanan setempat, dari total luas hutan lindung Jambi yang mencapai 2,1 juta hektare, sekitar 44,31 persennya atau 934 ribu hektarenya telah beralih fungsi menjadi kawasan bukan hutan. (ANTARA/Wahdi Septiawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2015 tentang Moratorium Hutan dinilai Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memiliki beberapa kelemahan. Mereka pun berharap, Presiden Jokowi bisa merevisi substansi dari Inpres tersebut agar moratorium bisa lebih kuat lagi.

"Mestinya presiden merevisi substansi Inpres ini agar lebih kuat," kata Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, Zenzi Suhadi kepada CNN Indonesia, Senin (18/5). Inpres yang dikeluarkan pada 13 Mei 2015 lalu ini justru dianggap WALHI bisa menghambat komitmen Jokowi atas distribusi Hutan Untuk Rakyat yang memiliki luas 12,7 juta hektare.

Dalam instruksi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tertulis pada Inpres tersebut, tidak ada pengecualian penundaan izin terhadap Hutan Untuk Rakyat. Artinya Menteri LHK tidak dapat menerbitkan izin Hutan Untuk Rakyat yang berada dalam kawasan moratorium.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jokowi kan sudah canangkan distribusi kawasan hutan 12,7 juta hektare untuk rakyat, justru di Inpres ini tidak masuk ke pengecualian," ujar Zenzi. Artinya kalau wilayah yang akan diusulkan rakyat itu masuk dalam moratorium, maka perizinannya tidak boleh dikeluarkan. "Padahal hutan yang dikelola rakyat itu biasanya lestari," katanya.

Dalam keterangan persnya yang diterima oleh CNN Indonesia, selain terkait Hutan Untuk Rakyat, ada empat poin lainnya yang juga dikritisi oleh WALHI tersebut, yaitu terkait izin prinsip, pengecualian lahan untuk padi dan tebu, perpanjangan izin, dan konsolidasi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.



Pengecualian permohonan yang telah mendapatkan Izin Prinsip dalam Inpres tersebut, dianggap tidak menjamin kawasan hutan alam dan lahan gambut yang masuk ke dalam wilayah moratorium akan selamat dari proses deforestasi dan degradasi. Sebab, wilayah tutupan hutan yang telah mendapatkan izin prinsip akan mengalami degradasi ketika selama masa moratorium diterbitkan izin produksi.

"Semestinya walau sudah ada izin prinsip kalau masuk moratorium tidak boleh diterbitkan izin produksi karena moratorium itu untuk perbaikan tata kelola dan mencegah kerusakan hutan dan gambut. Mestinya wilayah yang baru diberikan izin prinsip dapat dicegah kerusakannya, dengan tidak mengeluarkan izin produksi," jelas Zenzi.

Belum lagi ada juga pengecualian lahan untuk padi dan tebu dalam inpres tersebut mengisyaratkan bahwa inpres moratorium ini mengikuti kehendak dari orientasi perkembangan investasi.

"Dalam Inpres itu dibolehkan penerbitan izin tebu, padahal saat ini memang para pengusaha sedang gencar mencari wilayah untuk izin tebu," ujar Zenzi. Penguasaan tanah oleh korporasi sedang mengarah ke sektor energi dengan mengatasnamakan kedaulatan pangan dan energi. Padahal sektor perkebunan tebu dan bisnis padi skala besar akan menjadi faktor baru penyebab deforestasi di beberapa wilayah, seperti Papua, Maluku dan Sumatera Selatan.

Saat ini, Zenzi mengatakan, permohonan pelepasan kawasan hutan untuk tebu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mencapai 1,3 juta hektare. "Sekitar 300 ribu sudah keluar izinnya, sisanya izin prinsip dan tahap permohonan," katanya.

Selain itu, adanya pengecualian terkait perpanjangan izin juga mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak akan menggunakan masa moratorium sebagai momentum untuk perbaikan tata kelola dan pemulihan fungsi serta daya dukung lingkungan yang telah ambruk akibat beban perizinan yang telah overload. Daya dukung lingkungan baru akan dipulihkan bila ada review terhadap perizinan.

WALHI juga menemukan adanya intruksi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mengkonsolidasi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru ke dalam Peta tata Ruang adalah logika terbalik dari Moratorium itu sendiri. Peta Indikatif Penundaan Izin Baru merupakan peta untuk seluruh wilayah yang tidak boleh diterbitkan izin selama moratorium.

Sayangnya, proses perencanaan tata ruang di daerah marak ditungangi oleh pengusaha untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal perkebunan dan tambang dengan pengusulan review kawasan hutan.

Data dari WALHI menunjukkan hingga Agustus 2014 telah terjadi pelepasan status kawasan hutan hingga 7,8 juta hektare, karena adanya tuntutan penyesuaian kawasan hutan kedalam tata ruang daerah. Kebijakan inpres yang mengharuskan konsolidasi kawasan moratorium kedalam tata ruang daerah akan menjadi faktor yang akan mempercepat proses pengurangan wilayah moratorium.

Untuk itu, WALHI mengusulkan agar pemerintah melakukan penegakan hukum, terhadap skenario-skenario atau praktek kejahatan kehutanan oleh korporasi dan unsur pemerintahan yang terlibat dalam legitimasinya melalui perizinan.

"Kalau lahan itu oleh pemda dimasukan jadi wilayah tambang/kebun maka akan dikeluarkan dari wilayah moratorium (bisa diterbitkan izin). Ini membuka pintu bagi pemda untuk siasati," ungkap Zenzi.

(hel)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER