Mary Jane, Alasan Jokowi Harus Moratorium Hukuman Mati

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Kamis, 30 Apr 2015 16:00 WIB
Moratorium hukuman mati juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Aktivis dari Jaringan Buruh Migran Indonesia dan sejumlah Komunitas Doa serta Pro Kehidupan melakukan aksi tolak hukuman mati di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (28/4).(ANTARA /Muhammad Adimaja)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mary Jane, terpidana mati asal Filipina akhirnya batal dieksekusi dalam pelaksanaan hukuman mati gelombang kedua yang dilakukan pada Rabu (29/4) kemarin. Kasus Mary Jane sebut peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti, adalah alasan kuat Presiden Jokowi harus melakukan moratorium hukuman mati. (Baca juga: Kejaksaan Sebut Opsi Pemeriksaan Jarak Jauh untuk Mary Jane)

“Itu bukti sistem peradilan kita yang belum baik. Jokowi perlu moratorium hukuman mati sambil melakukan reformasi hukum kita. Waktu zaman SBY kan moratorium juga,” ujarnya saat berbincang dengan CNN Indonesia, Kamis (30/4).

Reformasi hukum di Indonesia, sebut Bivitri, sedang jalan ditempat. Pembahasan soal perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sejak awal tahun 1990 sudah dibahas namun belum juga membuahkan hasil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tahun ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP kembali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR. Sebagaimana keterangan dari laman resmi DPR, RUU KUHP diusulkan oleh pemerintah yaitu, Kementerian Hukum dan HAM. RUU KUHP masuk di DPR pada 2 Februari 2015 lalu.

“Moratorium itu dilakukan sampai reformasi hukum selesai dan perbaikan sistem peradilan kita untuk lebih fair,” ujarnya.

Selain itu, ungkapnya, moratorium hukuman mati perlu dilakukan karena dalam RUU KUHP tidak disebutkan adanya penghapusan hukuman mati. PSHK, ungkap Bivitri, sudah pernah dimintai masukan perihal hukuman mati ini oleh DPR.

“Tidak ada disebut penghapusan hukuman mati. Yang ada adalah hukuman mati diterapkan dalam pidana tertentu dan dengan syarat yang lebih berat, “ ujarnya. (Baca juga: Sebanyak 88 Terpidana Mati asal Filipina Menunggu Eksekusi)

Berdasarkan RUU KUHP versi Pemerintah, hukuman mati diatur dalam pasal 66 di mana disebutkan pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Menurut Bivitri, pidana khusus sementara disepakati adalah terorisme dan narkotik. “Korupsi masih belum masuk pidana khusus itu,” ungkapnya.

Pada pasal 87 juga menyebutkan, pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan hukuman mati, diatur dalam pasal 88 di mana salah satu ayatnya menyebut bahwa pelaksanaan itu dilakukan setelah pengajuan grasi ditolak presiden. 

Meski pidana mati telah dijatuhkan, dalam RUU KUHP itu diatur bahwa pelaksanaannya bisa ditunda selama 10 tahun bahkan bisa diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun. Perubahan itu harus dengan persetujuan menteri hukum dan HAM atau dengan persetujuan presiden. (Baca juga: Delapan Terpidana Meninggal Pada Tembakan Pertama)

Penundaan pelaksanaan hukuman mati dan perubahan hukuman mati jadi seumur hidup atau penjara 20 tahun bisa dipertimbangkan jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menyatakan penyesalan dan ada harapan untuk memperbaiki diri dan ada alasan yang meringankan.

Bivitri menilai, RUU KUHP versi pemerintah ini perlu perbaikan, terutama soal hukuman mati. Menurutnya, hukuman mati harus dihapuskan, karena hidup menjadi hak manusia yang paling asasi. “Kami bersama kawab-kawan lain koalisi anti hukuman mati menilai, hukuman mati perlu dihapuskan,” tuturnya.

Baca juga:

Menteri Kehakiman Filipina Surati Jaksa Agung soal Mary Jane

Kisah Mary Jane Saat Dicegat & Ditarik dari Grup 9 Terpidana

Wapres Iran Minta Negara Lain Hormati Eksekusi di Indonesia

FOKUS: Setelah Bedil Menyalak
(hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER