Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan beberapa saksi fakta dalam sidang praperadilan melawan bekas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Poernomo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/5).
Saksi fakta pertama yang dihadirkan lembaga antirasuah adalah Dadi Mulyadi. Ia merupakan penyelidik KPK yang terlibat menangani kasus Hadi.
Dadi mengatakan dalam proses penyelidikan, tim telah mengumpulkan sejumlah bukti permulaan, mulai dari permintaan keterangan narasumber, keterangan ahli dan sejumlah dokumen terkait. "Ada sekitar 20 narasumber dan ahli," kata dia menjelaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari hasil penyelidikan, Hadi mengklaim tim penyelidik telah menemukan kerugian negara. Perhitungan kerugian negara diambil dari hasil audit Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Kementerian Keuangan.
"Sekitar Rp 375 miliar," ujar Dadi saat menjawab jumlah kerugian negara hasil audit IBI.
Hadi Poernomo mencoba memperjelas keterangan saksi fakta KPK di hadapan hakim tunggal Haswandi, selaku pimpinan sidang. Ia mempertanyakan keabsahan laporan audit IBI atas keputusan keberatan pajak yang dikeluarkan Hadi pada 18 Juni 2001 sementara IBI terbentuk pada 20 September 2004.
"Saya tidak tahu karena tidak mempelajari aturan IBI. Apakah IBI bisa melakukan audit terhadap keputusan yang dilakukan sebelum IBI lahir," ujar Dadi kepada Hadi.
Hadi Poernomo mengajukan permohonan praperadilan terhadap KPK atas penetapan tersangka dan penyitaan yang dinilai tidak sah dan tidak berdasar hukum. Sebelumnya, pada April lalu Hadi telah mengajukan permohonan serupa namun kemudian dicabut tanpa alasan yang jelas.
Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014. Setahun lebih setelah penetapan tersangka, kasus Hadi hingga kini belum masuk ke persidangan pokok perkara.
Hadi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 sehingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 375 miliar dan menguntungkan pihak lain.
Bermula pada Juli 2003, Bank BCA mengajukan surat keberatan pengenaan pajak atas transaksi non-performing loan (NPL) atau kredit macet Rp 5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan.
Pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh mengirimkan surat pengantar risalah yang berisi keberatan atas permohonan BCA dan pernyataan menolak permohonan tersebut kepada Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak.
Pada 17 Juli 2004 atau sehari sebelum jatuh tempo bagi Dirjen Pajak untuk memberikan keputusan final atas permohonan BCA, Hadi membuat keputusan yang mengagetkan. Dia balik mengirimkan nota kepada Direktorat PPh agar mengubah kesimpulan.
Hadi meminta kesimpulan yang semula menolak agar diubah menjadi menerima seluruh keberatan. Namun, belum selesai bawahannya mengubah risalah, 18 Juli 2004, Hadi justru menerbitkan surat ketetapan pajak nihil (SKPN) sebagai tindak lanjut telah diterimanya keberatan yang diajukan BCA.
Atas perbuatannya, Hadi disangka melanggar pasal 2 ayat 1 dan/atau pasal 3 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
(utd)