Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan ada tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang seharusnya dibawa ke Pengadilan HAM namun prosesnya kini terhenti. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan pemerintah membuka peluang untuk membawa kasus-kasus HAM ke ranah yudisial lewat Pengadilan HAM.
“Untuk pelanggaran HAM masa lalu, Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan atas tujuh kasus yang berkasnya telah disampaikan ke Kejaksaan Agung. Kami bolak-balik sampai 15-16 kali ke Kejaksaan, tapi Kejaksaan tak mau melangkah ke tahap penyidikan,” kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas kepada CNN Indonesia, Kamis (28/5).
Ketujuh kasus yang telah rampung diselidiki oleh Komnas HAM dan menjadi prioritas untuk dibawa ke Pengadilan HAM ialah tragedi penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menewaskan empat orang, tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998 yang menewaskan 17 orang, tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 yang menewaskan 12 orang, peristiwa Talangsari di Lampung pada 7 Februari 1989 yang menewaskan 27 orang, kasus-kasus pelanggaran 1965-1966, serta kasus Wasior-Wamena di Papua Juni 2001 yang melibatkan bentrok aparat Brimob dan warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Semua kasus tersebut sudah selesai diselidiki sesuai kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tapi
deadlock di Kejaksaan,” ujar Hafid.
Menurut Hafid, Kejaksaan kerap mengembalikan berkas kasus yang disampaikan Komnas HAM dengan berbagai alasan. “Katanya penyidik belum disumpahlah, apalah. Pokoknya banyak alasan sehingga penyelesaian kasus jadi tertunda. Padahal penyelidikan kami di Komnas HAM sudah final,” kata dia.
Komnas HAM pun menyambut baik niat pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut, dan meminta Jokowi memastikan para menterinya untuk bekerja sesuai instruksi dia. (Baca juga:
Jokowi Bentuk Komite Rekonsiliasi untuk Kasus HAM Masa Lalu)
“Negara ini jangan sampai terbelenggu ruang gelap masa lalu. Jangan punya warisan peradaban yang gelap. Maka harus menyelesaikan masa lalu dengan baik sehingga bisa melangkah ke depan,” ujar Hafid.
Saat ini, kata Hafid, Pengadilan HAM reguler sesungguhnya sudah ada di Surabaya, Makassar, Medan, dan Jakarta pasca terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diteken oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Selasa (26/5), Menko Tedjo menyatakan untuk membawa kasus ke Pengadilan HAM dibutuhkan alat bukti kuat guna mengadili para pelakunya. Ia juga meminta masyarakat untuk menunggu hasil kerja Komite Rekonsiliasi yang belum lama ini dibentuk untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komite tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden Jokowi.
(agk)