Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Zulkarnaen mendorong pembuatan acuan hukum materiil dan formil terkait lembaga praperadilan. Menurutnya, adanya aturan tersebut dapat mencegah pemahaman yang berbeda tentang kewenangan praperadilan di antara para hakim.
"Jelas perlu ada batasan, seperti dari undang-undang, yurisprudensi dan etika profesi," kata Zulkarnen melalui pesan singkat, Kamis (28/5) pagi. Yang terjadi saat ini, kata Zulkarnaen, masing-masing membaca dan memahami praperadilan secara berbeda-beda, sempit dan parsial. "Bisa juga berdasarkan subyektifitas," katanya.
Zulkarnaen menambahkan, acuan hukum soal praperadilan juga dapat menjaga integritas lembaga peradilan termasuk mereka yang terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembentukan peraturan yang mengatur praperadilan secara detail juga didorong oleh elemen masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo Eddyono mendesak Mahkamah Agung menerbitkan peraturan internal untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 21/PUU-XII/2014.
Dalam keputusannya itu, MK memutuskan bahwa penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan.
Selain mengatur hukum materiil, Supriyadi berharap, Perarturan MA juga mengatur jumlah hakim yang khusus menangani praperadilan, tempat sidang dan jangka waktu persidangan. (Baca juga:
Permintaan SP3 Tak Digubris, BW Kembali Ajukan Praperadilan)
"Peraturan itu harus sesegera mungkin diterbitkan untuk merevisi panduan praperadilan yang selama ini dipegang oleh hakim," kata Supriyadi.
KPK sendiri sudah tiga kali kalah dalam persiangan praperadilan yang dimohonkan tersangka korupsi. Kekalahan pertama KPK adalah saat hakim
Sarpin Rizaldi mengabulkan gugatan Budi Gunawan.
Selanjutnya, KPK juga kalah dalam praperadilan yang dimohonkan oleh mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Siradjuddin. Kekalahan terakhir KPK dalam praperadilan dari tersangka korupsi yang juga bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo.
(sur)