Jakarta, CNN Indonesia -- Sosiolog sekaligus mantan Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Imam Prasodjo, mengatakan perlindungan hukum dalam konteks kekebalan hukum (imunitas) yang diberikan pemerintah terhadap pimpinan lembaga antirasuah tidak total.
Imam menjelaskan jika ada pimpinan KPK yang melakukan korupsi dan pelanggaran berat, maka ia tidak bisa berlindung dengan hak imunitas. Namun, jika pimpinan tersebut melakukan pelanggaran kecil, misalnya yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun, maka seharusnya tidak bisa menjadi tersangka.
"Anda bisa bayangkan bahwa pimpinan KPK yang melanggar lalu lintas, kemudian jadi tersangka dan akibatnya fatal. Tentu itu harusnya ada perlindungan hukum. Jangan sampai itu terjadi. Kalau sekarang tidak ada," ujar Imam di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Jumat (29/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh sebab itu, Imam memandang proses hukum yang dialami mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad bisa dijadikan pembelajaran mengenai apakah itu merupakan tindakan pelanggaran hukum yang berat atau bukan.
"Semua orang punya potensi kekeliruan, tapi apakah itu berpotensi jadi kejahatan, itu yang jadi soal. Oleh karena itu, perjalanan ke depan, dorong pimpinan KPK 'terlindungi'. Jangan sampai proses kriminalisasi terjadi. Saya kira pembicaraan seperti itu harus masuk dalam wacana, " kata dia.
Perlu Undang-UndangImam menilai bahwa diperlukan undang-undang yang mampu melindungi para pimpinan KPK.
(Baca Juga: Pimpinan KPK Mendatang Dituntut Hilangkan Ego Kompetensi)"Itu harus ada undang-undangnya kalau mau aman. Paling tidak jangan sampai hukum jadi arena balas dendam untuk menjerat orang karena kesalahannya, bukan karena tindakan kriminal. Paling tidak logis," ujar dia.
Ia mengaku sebagai seseorang yang setuju siapa pun, bahkan Presiden, yang melakukan pelanggaran hukum atau tindak kiriminal yang berat harus diusut.
(Baca Juga: Perppu Pimpinan KPK Resmi Diundangkan DPR RI)"Tapi kalau misalnya dokumen kekeliruan remeh temeh kemudian itu dijadikan alat menjadikan tersangka orang yang akibat hukumnya dia harus mundur. Saya kira taruhannya terlalu mahal proses ini, nyari orang begitu susah," kata dia.
(Lihat Juga: Tak Lagi Jabat di KPK, Samad dan Bambang Pilih Menulis) (utd)