Jakarta, CNN Indonesia -- Tim kuasa hukum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan menilai tindakan kuasa hukum Polri yang membacakan materi jawaban praperadilan dengan membeberkan kronologi perkara sudah melanggar kewenangan praperadilan itu sendiri lantaran telah masuk ke dalam pokok perkara.
"Menurut kami, termohon sudah
offside (karena) kembali mengungkapkan pokok perkara yang terjadi di Bengkulu dan apa yang dilakukan oleh Novel, yang mana itu tidak termasuk ke dalam objek praperadilan kami. Itu jauh sekali keluar dari permohonan yang kami ajukan," ujar salah satu kuasa hukum Novel, Julius Ibrani, usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (1/6).
Dalam sidang praperadilan hari kedua, tim kuasa hukum Polri membacakan jawaban atas materi permohonan praperadilan yang diajukan oleh Novel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam materi jawaban tersebut, kuasa hukum Polri menceritakan kembali rangkaian peristiwa kasus penganiayaan oleh Novel terhadap pelaku pencurian sarang burung walet hingga tewas di Bengkulu pada 2004 lalu.
Berawal pada 18 Februari 2004 sekitar pukul 18.30 WIB di Bengkulu, telah terjadi tindak pidana pencurian sarang burung walet yang dilakukan oleh enam orang.
Keenam pelaku kemudian berhasil diamankan dan dibawa ke Polresta Bengkulu untuk diperiksa.
Sekitar pukul 22.30 WIB, keenam pelaku diinterogasi oleh penyidik dan atas perintah Kasatreskrim Polresta Bengkulu, yaitu Novel Baswedan, keenam pelaku dengan tangan terborgol dibawa menggunakan mobil
pick up warna hitam menuju Pantai Panjang Ujung Bengkulu.
Setiba di Pantai, keenam pelaku kemudian dibawa mendekati pantai. Dua dari enam pelaku, yakni Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi, yang masih dalam keadaan tangan diborgol ini diarahkan untuk menghadap ke arah laut lepas.
Selanjutnya Novel menembak kedua pelaku tersebut dari arah belakang dalam jarak dekat.
Penembakan pertama ditujukan kepada Irwansyah hingga mengakibatkan proyektif peluru milik Novel bersarang di dalam jaringan tulang kering kaki kiri. Kemudian penembakan kedua ditujukan kepada Dedi dan mengenai bagian kaki bawah sebelah kanan, namun peluru berhasil keluar dan tidak dapat ditemukan.
Penembakan pun dilanjutkan terhadap dua pelaku lainnya, yakni Rizal Sinurat dan Mulyan Johani. Penembakan dilakukan pada posisi 10-20 meter dari lokasi penembakan sebelumnya. Masih dari arah belakang, tembakan Novel berhasil mengenai kaki kedua pelaku.
Begitu pula dengan dua pelaku terakhir, Doni Siregar dan Rusli. Keduanya juga ditembak dengan cara yang sama dan luka yang sama. Keenam pelaku ini kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Bengkulu untuk menjalani pengobatan. Namun, salah satu pelaku, yaitu Mulyan diketahui pingsan dan akhirnya meninggal dunia setelah mendapatkan pertolongan medis.
Selain menimbulkan korban tewas, penganiayaan yang dilakukan Novel juga menyebabkan salah satu pelaku mengalami cacat permanen, yakni Irwansyah. Akibat proyektil peluru yang bersarang di kakinya selama kurang lebih delapan tahun (2004-2012), Irwansyah kini memiliki kaki yang pincang dan tidak dapat beraktifitas secara maksimal.
Julius menilai cerita yang diungkap kuasa hukum Polri banyak yang bersifat asumsi lantaran seakan-akan memberi gambaran tentang sifat Novel yang brutal dan buruk.
"Ini asumsi yang sifatnya personal dan ini di luar wilayah permohonan praperadilan kami. Yang ini yang kami juga catat dengan sangat hati-hati bahwa apa kepentingan jawaban yang dibacakan termohon yang mengarah pada personalitas dari pemohon yang kami dampingi," ujar Julius.
Novel ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas kasus penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet hingga tewas pada 2004. Saat itu Novel menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Bengkulu.
Penetapan tersangka Novel dilakukan pada 2012 ketika dia menjadi penyidik utama kasus korupsi yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Djoko Susilo.
Banyak pihak menilai mencuatnya perkara Novel adalah sebagai serangan balik polisi kepada lembaga antirasuah yang menetapkan Djoko sebagai tersangka. Polisi saat itu bahkan sempat menggeruduk gedung KPK untuk menangkap Novel.
Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus tersebut demi meredakan ketegangan antara kedua institusi penegak hukum.
(meg)