Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan membantah dalih biro hukum Polri yang menyatakan permohonan praperadilan kliennya tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut disebabkan pencantuman nama termohon di dalam berkas permohonan tidak konsisten karena mencakup jabatan dan lembaga.
"Mau menggugat Polsek pun fokusnya kan Polri. Ini rangkaian karena mereka itu satu komando. Siapapun yang kami ajukan sudah bisa dipastikan ini bagian dari Polri," ujar kuasa hukum Novel, Bahrain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (3/6).
Saat pembacaan materi jawaban Senin (1/6) kemarin, Biro Hukum Polri mengatakan penyebutan identitas pihak termohon dalam perkara Novel tidak lengkap dan tidak tepat sehingga menyebabkan ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya pihak yang dituju.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan permohonan praperadilan tertanggal 4 Mei 2015, Novel mencantumkan nama pihak termohon dengan sebutan 'Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Badan Reserse Kriminal cq. Direktur Tindak Pidana Umum beralamat di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Jakarta Selatan'.
Menurut Biro Hukum Polri, penyebutan cq. memiliki arti 'dalam hal ini' atau 'lebih spesifik lagi' dan digunakan untuk menunjukkan hubungan hirarkis. Akan tetapi, penyebutan yang dilakukan Novel dalam permohonan praperadilan dinilai tidak tepat lantaran memuat sekaligus dua bentuk pihak yang berbeda, yakni jabatan dan lembaga.
"Jika pemohon ingin menunjukkan susunan hirarkis, seharusnya penyebutannya konsisten yaitu menyebut bentuk jabatan/pejabat seluruhnya atau bentuk lembaga/badan seluruhnya yakni 'Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kepala Badan Reserse Kriminal cq. Direktur Tindak Pidana Umum," ujar salah satu Biro Hukum Polri, Joel Baner Tundan saat membacakan materi jawaban.
Selain penyebutan jabatan yang tidak konsisten, pencantuman alamat pihak termohon dalam permohonan Novel juga dianggap tidak jelas karena berdasarkan fakta, di Indonesia hanya ada satu Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Tidak ada Markas Besar Nomor 1, Nomor 2 atau Nomor 3," ujar Joel.
Di sisi lain, Bahrain menganggap pernyataan Biro Hukum Polri tidak masuk akal. Ia merasa bahwa ketidakjelasan yang diklaim oleh Polri atas permohonan praperadilan kliennya sudah berada di luar materi. "Kalau dikatakan begitu, itu keterlaluan," ujar Bahrain.
Sidang praperadilan Novel memasuki tahap pembuktian. Sidang dimulai pukul 10.45 WIB dan dipimpin oleh hakim tunggal Zuhairi.
Novel mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri pada 1 Mei lalu. Ia menilai penangkapan dan penahanan terhadap dirinya tidak sesuai prosedur, salah satunya karena menggunakan surat perintah penangkapan yang kedaluwarsa.
Kasus Novel sebenarnya merupakan kasus lama. Novel ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas kasus penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet hingga tewas pada 2004. Saat itu Novel menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu.
Penetapan tersangka Novel dilakukan pada 2012 ketika dia menjadi penyidik utama kasus korupsi yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Banyak pihak menilai mencuatnya perkara Novel adalah sebagai serangan balik polisi kepada lembaga antirasuah yang menetapkan Djoko sebagai tersangka. Polisi saat itu bahkan sempat menggeruduk gedung KPK untuk menangkap Novel.
Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus tersebut demi meredakan ketegangan antara kedua institusi penegak hukum
(hel)