Jokowi Didesak Bentuk Lembaga Otoritatif untuk Konflik Tanah

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Jumat, 05 Jun 2015 07:25 WIB
KPA mencatat telah terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977 hektare sepanjang 2014. Konflik tersebut melibatkan 105.887 KK.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan (kanan) menerima kunjungan Ketua Umum Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) Hamid Yusuf (kiri) di Jakarta, Selasa (5/5). ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kent Yusriansyah mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk lembaga otoritatif untuk menyelesaikan konflik agraria.

"Kelembagaan otoritatif yang dimaksud adalah yang mampu menjalankan pembaruan agraria dan sekaligus bisa menyelesaikan konflik agraria struktural dan berada di bawah presiden," kata Kent saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (4/6).

KPA mencatat telah terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977 hektare sepanjang 2014. Konflik tersebut melibatkan 105.887 kepala keluarga (KK).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Konflik agraria tertinggi terjadi di sektor infrastruktur, yaitu sebanyak 215 kasus (45,55 persen), kemudian disusul sektor perkebunan sebanyak 185 kasus (39,19
persen)," kata Kent.

Sementara, konflik agraria di sektor kehutanan sebanyak 27 kasus (5,72 persen); 20 konflik agraria di kasus pertanian (4,24 persen); 14 kasus di sektor pertambangan (2,97 persen); empat kasus di sektor perairan dan kelautan (0,85 persen).

"Dibandingkan 2013, terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 konflik agraria atau meningkat 27,9 persen dari tahun 2013," ujar Kent menjelaskan.

Menurut Kent, konflik di sektor tambang memiliki dampak yang serius. Apalagi, kata Kent, terjadi masalah tumpang tindih lahan di sektor kehutanan dan perkebunan.

Dia menegaskan, jika tidak ada intervensi pemerintah secara berkeadilan, maka bisa dipastikan ratusan ribu hektare tanah pertanian dan perkebunan rakyat berpotensi tergusur menjadi areal pertambangan yang hanya menguntungkan para pemodalnya.

Berdasarkan data KPA, sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang marak konflik agrarianya antara lain: Riau (52 konflik agraria/11,02 persen); Jawa Timur (44 konflik agraria/9,32 persen); Jawa Barat (39 konflik agraria/8,26 persen); Sumatera Utara (33 konflik agraria/6.99 persen); Sumatera Selatan (33 konflik agraria/6.99 persen).

Kemudian, Jawa Tengah (26 Konflik Agraria/5,51 persen); DKI Jakarta (25 konflik agraria/5,3 persen); Banten (20 konflik agraria/4,24 persen); Sulawesi Selatan (19 konflik agraria/4.03 persen); Jambi (17 konflik agraria/3,60 persen).

"Data tersebut hanya menampilkan peta sebaran konflik yang terjadi pada tahun 2014. Tidak menutup kemungkinan, provinsi lain mengalami ledakan konflik agraria," ujar Kent. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER