Kasus Korupsi Kondensat, BPK Permasalahkan Cara Pembayaran

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Jumat, 05 Jun 2015 21:42 WIB
Dalam kerja sama penjualan kondensat seharusnya pembayaran menjadi prioritas untuk diamankan. Namun pembayaran justru tersendat dan mengakibatkan piutang.
Angggota BPK RI, Achsanul Qosasi ketika menjawab pertanyaan wartawan seputar rencana pemerintah memberikan PNM (Penyertaan Modal Negara) di kantor pusat BPK RI. Foto: Dok BPK RI
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut cara pembayaran yang tidak benar sebagai salah satu akar masalah dalam kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara dari Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas, sekarang SKK Migas) oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).

"Masalahnya dicara pembayarannya dan pelaksanaannya. Ini kan berpotensi merugikan negara karena TPPI tidak bayar jatah yang dikirim SKK Migas," kata Anggota VII BPK Achsanul Qosasi kepada CNN Indonesia, Jumat (5/6).

Achsanul menjelaskan, dalam kerja sama penjualan kondensat ini seharusnya pembayaran menjadi prioritas untuk diamankan. Sementara itu, dalam kasus tersebut, pembayaran justru tersendat dan mengakibatkan piutang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Viktor Simanjuntak, menyatakan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah orang yang menyetujui cara pembayaran dalam perjanjian ini. Namun, Achsanul ditanyai soal ini, menolak untuk berkomentar. (Baca: Polri Sebut Sri Mulyani Setujui Bayar Kondensat Tanpa Kontrak)

"Kalau itu jangan saya yang bicara, itu sudah kewenangannya penegak hukum," ujarnya.

Viktor sebelumnya menyebut Sri Mulyani menyetujui cara pembayaran kondensat beberapa bulan sebelum lifting pertama dilakukan. Lifting pun, dilakukan sebelum ada kontrak yang mengikat.

"Surat persetujuannya saya lupa kapan tepatnya, tapi kalau tidak salah September 2008, pokoknya sebelum lifting berjalan," kata Viktor di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis malam (4/6).

Lifting pertama kondensat bagian negara dari Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas, sekarang SKK Migas) oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dilakukan pada Mei 2009. Saat itu, menurut Viktor, lifting dilakukan tanpa disertai surat kontrak.

Dia mengatakan, kontrak baru dibuat satu tahun setelahnya, sekira April 2010. Dalam kontrak itu pun, BP Migas menunjuk langsung TPPI sebagai rekanan, tanpa melalui prosedur lelang yang benar.

Seharusnya, lanjut dia, Menteri Keuangan menandatangani surat persetujuan cara pembayaran berdasarkan surat kontrak kerja. Namun, dalam kasus ini, Sri menandatangani surat tersebut berdasarkan surat-surat dari TPPI dan BP Migas.

Dalam kasus ini, penyidik sudah menetapkan tiga tersangka, yakni RP, DH, dan HW. Sejauh ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap bekas Kepala BP Migas Raden Priyono dan Djoko Harsono selaku mantan Deputi Finansial dan Pemasaran BP Migas. Ketika ditemui seusai pemeriksaan, keduanya mengaku hanya berstatus sebagai saksi.

Sementara itu, pemilik lama TPPI, Honggo Wendratno, kembali tidak bisa memenuhi panggilan penyidik. Menurut Viktor, dia masih berada di Singapura dan hendak menjalani operasi jantung. "Kami sudah dapat surat dari dokter dari Singapura," ujarnya.

Achsanul menyebut kasus ini berpotensi merugikan negara hingga US$139 juta. “Itu baru potensi, nanti dihitung, kalau sudah jelas rangkaian kasusnya akan dihitung lagi. Bareskrim akan minta kepada BPK.” (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER