Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan proses adopsi Angeline tidak sah karena baru sampai pada tahap awal. Surat Pengakuan Pengangkatan Anak yang dikeluarkan notaris kepada orang tua kandung dan orang tua angkat Angeline tidak kuat untuk dijadikan dasar pengadopsian.
"Yang sah hanya dengan putusan pengadilan. Surat notaris baru tahap awal," ujar Komisioner KPAI Bidang Pengasuhan Rita Pranawati kepada CNN Indonesia, Jumat (12/6).
Rita mengatakan proses adopsi anak yang sah memakan waktu cukup panjang, apalagi jika status pengadopsi merupakan pasangan warga negara asing (WNA) atau salah satunya WNA seperti yang terjadi pada Angeline
. (Baca juga Menteri Khofifah: Keluarga Angeline Tak Patuhi Aturan Adopsi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Proses resmi itu bisa sampai dua tahun," kata Rita.
(Baca juga: Kasus Angeline, Pemerintah Dianggap Kedodoran soal Adopsi)Rita menjelaskan, peraturan tentang adopsi anak sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Peraturan tersebut menyebut bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan tidak boleh memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Setelah semua hal di atas terpenuhi, masih ada syarat berikutnya yang harus dipenuhi oleh pasangan calon orang tua angkat. Mereka harus dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, berumur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun, memiliki agama yang sama dengan calon anak angkat, memiliki catatan kelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan kejahatan, berstatus menikah paling singkat lima tahun, dan tidak merupakan pasangan sejenis.
Selain itu, calon orang tua angkat juga diharuskan belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak, mampu secara ekonomi dan sosial, memperoleh izin tertulis dari orang tua atau wali serta memperoleh persetujuan anak, dan membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik anak, kesejahteraan, dan perlindungan anak.
Sebagai catatan, ibu angkat Angeline, Margriet Megawe, dan mendiang suaminya telah memiliki dua anak kandung perempuan sebelum mengangkat Angeline sebagai anak. (Baca juga:
Soal Warisan dalam Kematian Angeline sedang Didalami)
 Aksi Seribu Lilin untuk Anak Indonesia di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (10/6), untuk mengenang Angelin. (Antara/Vitalis Yoga Trisna) |
Dalam kasus Angeline, Rita menilai persyaratan untuk pengangkatan anak bahkan lebih rumit lagi. Alasannya, ayah angkat Angeline merupakan pria berkewarganegaraan Amerika Serikat. Maka selain melengkapi dokumen yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia, calon orang tua angkat juga harus mendapatkan izin dari negara asalnya. Proses pengangkatan anak juga harus melalui Lembaga Pengasuhan Anak, paling tidak berupa rekomendasi.
"WNA harus memperoleh izin tertulis dari negara asal," ujar Rita. Izin tersebut merupakan persetujuan pengangkatan anak secara tertulis dari pemerintah negara asal suami atau istri melalui kedutaan atau perwakilan negaranya yang ada di Indonesia.
Selain itu, calon orang tua angkat yang WNA itu juga harus mendapatkan persetujuan dari keluarga suami atau istri yang dilegalisasi di negara asalnya.
Calon orang tua angkat juga harus membuat pernyataan resmi yang berisi kesediannya untuk melaporkan perkembangan anak kepada Kementerian Luar Negeri melakui perwakilan RI setempat setiap tahun hingga si anak berusia 18 tahun. Dia pun harus bersedia dikunjungi perwakilan RI setempat untuk melihat perkembangan anak sampai berusia 18 tahun.
Setelah segala dokumen berhasil dilengkapi, calon orang tua angkat baru bisa mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi dengan melampirkan seluruh persyaratan. Kemudian, Kepala Instansi Sosial akan menugaskan pekerja sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk menilai kelayakan calon orang tua angkat dengan melakukan kunjungan ke rumahnya.
Jika dinilai layak, Kepala Instansi Sosial Provinsi akan mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan Sementara dan pekerja sosial akan melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara.
Setelah proses tersebut selesai, calon orang tua angkat mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi. Pekerja sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak pun kembali melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan calon anak angkat selama diasuh oleh calon orang tua angkat.
Dari hasil pengawasan dan penilaian kelayakan yang dilakukan oleh pekerja sosial terhadap calon orang tua angkat, Kepala Instansi akan membahas hasil penilaian dan kelengkapan berkas permohonan pengangkatan anak dengan Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Provinsi yang terdiri dari perwakilan beberapa lembaga.
Lembaga itu antara lain Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat atau yang saat ini menjadi Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan. Selain itu ada pula wakil dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenerian Kesehatan, Polri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, KPAI, Komnas Perlindungan Anak, dan Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia.
Proses selanjutnya, Kepala Instansi Sosial akan mengeluarkan surat rekomendasi untuk izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut ke Kementerian Sosial. Ketika berkas sudah diterima oleh Menteri Sosial atau diwakili oleh Direktur Pelayanan Sosial Anak, penilaian kelayakan calon orang tua angkat tersebut akan dibahas oleh Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA) di Kemensos.
Forum Tim PIPA akan mengeluarkan surat keputusan tentang pertimbangan pengangkatan anak. Kemudian Menteri Sosial mengeluarkan keputusan tentang izin pengangkatan anak untuk ditetapkan di pengadilan. Tapi jika permohonan ditolak, maka anak akan dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak.
Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan dilakukan oleh calon orang tua angkat atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan. Jika pengadilan sudah menetapkan dan proses pengangkatan anak telah selesai, maka orang tua angkat harus melapor dan menyampaikan salinan penetapan pengadilan tersebut ke Kementerian Sosial dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten atau Kota.
Langkah terakhir, Kementerian Sosial akan mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut. Barulah proses pengangkatan anak resmi secra hukum.
Salahi hukumMaka berdasarkan tata cara pengangkatan anak yang tercantum dalam Permensos Nomor 110 Tahun 2009, proses pengangkatan Angeline sebagai anak oleh Margriet dan suaminya menyalahi aturan.
Pertama, proses pengangkatan anak tidak melalui Lembaga Pengasuh Anak. Padahal pada Pasal 11 Permensos Nomor 110 Tahun 2009, pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat yang salah satunya WNA harus melalui Lembaga Pengasuhan Anak.
Kedua, proses pengangkatan Angeline sebagai anak terhenti di notaris saja, tak melibatkan instansi sosial seperti Kementerian Sosial atau pengadilan. "Padahal notaris hanya bagian kecil proses penguatan dokumen dan persyaratan. Ada pihak yang pakai notaris, ada yang tidak," ujar Rita.
Ketiga, sebelum mengadopsi Angeline, Margriet dan suaminya telah memiliki dua anak kandung. Padahal dalam persyaratanm disebut pasangan calon pengadopsi tidak atau belum memiliki anak atau hanya boleh memiliki satu anak.
Hal ini, ujar KPAI, membuat proses pengadopsian Angeline ilegal.
(utd)